Malam itu, disini, diantara
keempat dinding kamarku, diatas kasur mungil kesayanganku, aku merebahkan
tubuhku untuk melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Kepalaku pening
berat, rasanya mau pecah. Ada keresahan yang memborbardir pertahanan hatiku. Aku
seolah terperangkap di dalam kegundahan yang aku sendiri tidak mengetahui apa
penyebabnya.
Alvino Dimas Nugraha, ya aku yakin
dialah yang seharusnya bertanggung jawab atas segala keresahan yang mengoyak
batinku ini. Alvin adalah kakak tingkatku dikampus. Rumahku dan rumahnya cukup
dekat, bisa ditempuh sekitar 3 menit jika menggunakan sepeda motor. Itulah
sebabnya belakangan ini ia sering berkunjung ke rumahku. Entah membantu
mengerjakan tugasku, mengajariku materi mata kuliah yang tidak aku pahami, atau
sekedar untuk mengobrol denganku.
Alvin adalah pria yang baik dan
berasal dari keluarga yang baik-baik pula. Cukup manis, kulitnya yang sawo
matang, badannya yang pas, tidak kurus dan tidak gemuk tapi lebih tinggi 5cm
diatasku, wajahnya yang lonjong, alisnya yang tebal, matanya yang tegas,
hidungnya yang mancung, dan senyumnya yang meneduhkan hati siapapun yang
melihatnya. Ia baik hati dan suka menolong, tampak jelas keikhlasan yang
terpancar dari wajahnya setiap kali ia membantuku.
Satu tahun yang lalu, tepatnya
saat aku masih menjadi mahasiswa baru. Aku kenal Alvin lewat jejaring sosial
facebook. Perkenalan yang cukup memuakkan bagiku, bualannya yang
mengaku-ngaku sesama mahasiswa baru membuatku tak menyisakan sedikitpun ruang
untuk berdamai dengannya.
Sejak aku mencium kebusukannya dan
berhasil menguak kebenaran bahwa sebenarnya ia adalah mahasiswa tingkat akhir,
aku memutuskan untuk cuti berbicara padanya. Aku hanya berkomunikasi
seperlunya, pura-pura tidak melihatnya dan buang muka saat bertemu.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun
tiba, hari pertama aku masuk kuliah setelah melewati serangkaian ospek tingkat
universitas. Aku berpisah dengan sahabatku Raisa karena ternyata kami beda
kelas. Disitu aku bertemu dengan Siska, kami berkenalan dan mulai berteman baik.
Tanpa disangka-sangka, Siska ternyata korban
kebusukan Alvin juga. Hih! Tentu saja kami membencinya setengah mati. Kami
berjanji tidak akan sampai terbuai oleh rayuan Alvin.
Sampai suatu hari, aku mulai
curiga dengan gelagat Siska yang mulai aneh. Ia sering pulang duluan dengan
tergesa-gesa. Sepertinya ada yang disembunyikan Siska dari kami. Beberapa hari
setelahnya aku mulai mengorek-ngorek informasi dari Siska.
Setelah dipancing akhirnya Siska
mengaku juga bahwa sebenarnya ia telah berpacaran dengan Alvin. Sepertinya ia
termakan oleh ucapannya sendiri dan melanggar janji kami. Tapi aku tidak marah,
malah turut berbahagia melihat kebahagiaan Siska. Belum pernah aku melihat mata
Siska yang begitu berbinar-binar memantulkan secerca kebahagiaan di wajah nya.
Waktu berlalu, tak terasa hampir
satu semester ku lewati. Goncangan dahsyat mulai menggoyahkan persahabatan
kami. Aku dan Siska mulai menjauh sejak kehadiran Raisa. Aku seperti
terlupakan. Entah apa ada yang salah dari diriku sehingga ku rasa Siska mulai
menjauhiku.
Sedih memang kini kedua sahabatku
bersatu dan aku berada di kubu yang berbeda. Sendiri, terabaikan,
terlupakan, tereliminasi, tersingkirkan dan terasingkan. Inilah
yang paling aku takutkan di dunia ini: kehilangan sahabat.
Aku dan Alvin mulai berkomunikasi
lagi melalui blackberry messenger. Aku mulai membuang jauh-jauh perasaan
kesal ku dan memutuskan untuk berdamai dengannya. Ternyata Alvin dan Siska
mulai diterpa cobaan dalam hubungan mereka, mereka sering bertengkar hebat dan
putus nyambung. Karena ku pikir mereka berdua sama-sama keras dan
kekanak-kanakan.
Alvin sering menanyakan perihal
Siska kepadaku, tak jarang ia curhat kepadaku. Berulang kali aku katakan bahwa
aku tidak tahu apa-apa soal Siska, aku sudah tidak akrab dengannya. Aku menyarankan
agar Alvin bertanya pada Raisa karena Raisa lah yang lebih tahu soal Siska.
Tapi tak digubris nya, ia bersikukuh bercerita padaku. Aku hanya bisa menjadi
pendengar yang baik saja.
Setelah lelah putus nyambung,
nampaknya kali ini tidak ada lagi kesempatan untuk mereka bersatu. Mereka
sepakat untuk mengakhiri ini semua. Walaupun ku rasa Siska masih sangat
menyayangi Alvin. Alvin yang berstatus jomblo mulai kesana kemari mencari
cinta. Termasuk aku, ya Alvin mulai mendekatiku, ku rasa begitu. Ia
sering mengirimi ku pesan bbm. Tapi aku tak mau kegeeran dulu, aku
menganggapnya biasa saja layaknya adik tingkat dan kakak tingkat.
Hanya menghitung hari Alvin
dikabarkan merajut asmara kembali bersama Nindy, mantan pacar yang masih kakak
tingkatku. Sejak saat itu, Alvin menghilang bak ditelan bumi. Kami tidak pernah
berkomunikasi lagi.
Beberapa bulan setelah itu, sosok
Alvin datang lagi di kehidupanku. Kami sering bbm an, layaknya baru bertemu
teman lama. Seperti biasa, ia selalu putus nyambung dengan pacarnya. Aku mulai
mencium ketidakberesan dibalik ini semua. Dan benar saja, Alvin mengajakku
main, foto studio dan banyak ajakan yang ia lontarkan. Aku hanya bisa menolak,
mencari ribuan alasan menolak demi menghargai perasaan Siska. Aku bisa
merasakan bagaimana jika di posisi Siska.
Mulai jengah dengan ini semua, aku
memutuskan untuk menceritakan gelagat Alvin kepada Raisa. Aku tak berani jika
langsung menceritakannya pada Siska. Jadi aku harap Raisa bisa menjadi
perantara. Bagaimana mungkin aku menerima ajakan Alvin, itu akan menyakiti
perasaan Siska. Aku berusaha setengah mati menjauhi Alvin. Dan usahaku
berhasil. Kini Alvin tidak pernah menghubungiku lagi.
Satu tahun berlalu, Aku dan Alvin
mulai berteman dekat. Alvin mulai sering berkunjung ke rumahku, Alvin selalu
membantuku jika aku ada kesulitan. Ternyata aku salah menilai nya. Alvin sangat
baik. Kami sering berniat untuk menghabiskan waktu berdua selain di rumahku,
tapi aku masih ragu. Aku masih tidak enak dengan Siska. Ia belum tahu soal
kedekatanku dengan Alvin. Posisiku serba salah. Aku tidak berani bercerita pada
Siska. Tapi kalau Siska tahu sendiri dari orang lain aku takut Siska mengiraku
main belakang.
Satu hal sepele yang
memberatkanku, Alvin meminjami buku Manajemen kepadaku. Sedangkan Siska yang
notaben nya minjam duluan malah tidak dipinjamkannya. Mengapa Alvin lebih
memilih meminjamkannya padaku? Itu masih menjadi tanda tanya besar untukku.
Alasan Alvin katanya Siska meminjamnya dengan cara yang tidak sopan jadi ia
malas menggubrisnya. Tapi Alvin berpesan agar merahasiakan ini dari Siska
karena tidak enak padanya.
Seminggu berlalu, sepertinya Siska
mulai curiga dengan buku yang lebih mirip dengan buku telepon yang selalu aku
genggam itu milik Alvin. Seusai pelajaran, aku meletakkan buku itu diatas
bangku milik Lita dan pergi keluar dengan Lita. Setibanya di kelas, buku itu
berpindah posisi jadi di bangku milik ku.
Aku yakin mereka melihat buku itu
tanpa sepengetahuanku. Aku bisa membaca raut muka mereka yang mulai berubah. Ku
ceritakan ini semua pada Alvin lewat bbm. Namun saat kuliah berlangsung Raisa
meminjam bb ku dan dengan polos membuka bbm. Aku yakin ia pasti membaca bbm ku
dan Alvin yang sudah ku end chat.
Tepat hari ini aku merasakan
sesuatu yang terus bergejolak di sini, dihatiku. Perasaan yang terus
menghantuiku setiap hari. Jantungku tak cukup kuat untuk membendung setiap
detak yang tercipta karenanya. Otakku yang tak berhenti memikirkannya. Rasa
bahagia yang luar biasa jika ada bbm dari Alvin. Ah! Mungkinkah aku mulai jatuh
cinta pada nya?
Tidak! Tidak mungkin! Ini hanya
perasaanku saja. Aku tidak akan pernah jatuh cinta kepada Alvin! Awalnya aku
mengelak. Aku berusaha membentengi hati agar tidak jatuh cinta padanya. Namun,
semakin aku mengelak cinta semakin erat mendekapku, menghipnotisku, dan
melumpuhkanku. Semakin hari rasa ini terus tumbuh di taman hatiku. Sebisa
mungkin aku melawan rasa yang ada di hati ini, namun semakin kuat aku berusaha
semakin kuat pula getaran yang ada, hatiku seperti mau meledak. Ah! Rasanya
ingin menyerah. Tapi rasa ini terlanjur menguasai hatiku bahkan seluruh
partikel yang ada di dalam tubuhku.
Ya Tuhan, aku harus bagaimana?
Apa aku harus terus memendam perasaan ini?
Atau aku harus berjuang mempertahankan cinta yang telah tumbuh subur di taman hatiku ini?
Atau aku harus menghapus semua memori tentang Alvin dari pikiranku dan membuang jauh-jauh perasaan ini?
Apa aku jahat bila mencintai Alvin?
Apa aku salah?
Kenapa aku tidak boleh jatuh cinta kepada Alvin?
Apa aku harus terus memendam perasaan ini?
Atau aku harus berjuang mempertahankan cinta yang telah tumbuh subur di taman hatiku ini?
Atau aku harus menghapus semua memori tentang Alvin dari pikiranku dan membuang jauh-jauh perasaan ini?
Apa aku jahat bila mencintai Alvin?
Apa aku salah?
Kenapa aku tidak boleh jatuh cinta kepada Alvin?
Bangun Giska Renanda! ayo lekas
bangun dari mimpi buruk ini! Aku mencubit pipiku dan menamparnya berulang kali.
Ku harap ini hanya mimpi buruk dan aku harus segera bangun dari tidurku.
Ternyata pipiku terasa sakit akibat cubitan dan tamparanku sendiri. Dan benar
saja aku tidak mimpi, ini sungguhan. Air mata yang menggunung di kelopak mataku
berjatuhan satu demi satu.
Sesuatu terbesit di benak ku.
Antara logika dan perasaan. Logikanya mereka sudah lama putus dan setiap orang
berhak untuk bahagia karena cinta. Tak ada yang melarang untuk jatuh cinta. Cinta
itu anugrah, bukan untuk dihindari. Jadi sah sah saja kalau aku jatuh cinta
pada Alvin. Tapi disisi lain, aku telah menghancurkan perasaan Siska. Memang
mereka telah lama putus, namun siapa yang bisa menjamin bahwa rasa itu sudah
benar-benar punah dari hati Siska? Bukti lain sampai saat ini Siska masih belum
memiliki pengganti Alvin.
Aku benar-benar terjebak di antara
logika dan perasaan. Apakah aku harus berpihak pada logika? Atau pada perasaan?
Tak ada yang salah. Keduanya
memiliki kekuatan masing-masing. Tak ada yang perlu disalahkan dan tak ada yang
perlu disesali. Jatuh cinta bukan sesuatu yang salah. Semua orang berhak jatuh
cinta. Semua orang berhak bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar