Selasa, 27 Agustus 2013

Tentang Perasaan dan Logika

Malam itu, disini, diantara keempat dinding kamarku, diatas kasur mungil kesayanganku, aku merebahkan tubuhku untuk melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Kepalaku pening berat, rasanya mau pecah. Ada keresahan yang memborbardir pertahanan hatiku. Aku seolah terperangkap di dalam kegundahan yang aku sendiri tidak mengetahui apa penyebabnya.
Alvino Dimas Nugraha, ya aku yakin dialah yang seharusnya bertanggung jawab atas segala keresahan yang mengoyak batinku ini. Alvin adalah kakak tingkatku dikampus. Rumahku dan rumahnya cukup dekat, bisa ditempuh sekitar 3 menit jika menggunakan sepeda motor. Itulah sebabnya belakangan ini ia sering berkunjung ke rumahku. Entah membantu mengerjakan tugasku, mengajariku materi mata kuliah yang tidak aku pahami, atau sekedar untuk mengobrol denganku.
Alvin adalah pria yang baik dan berasal dari keluarga yang baik-baik pula. Cukup manis, kulitnya yang sawo matang, badannya yang pas, tidak kurus dan tidak gemuk tapi lebih tinggi 5cm diatasku, wajahnya yang lonjong, alisnya yang tebal, matanya yang tegas, hidungnya yang mancung, dan senyumnya yang meneduhkan hati siapapun yang melihatnya. Ia baik hati dan suka menolong, tampak jelas keikhlasan yang terpancar dari wajahnya setiap kali ia membantuku.
Satu tahun yang lalu, tepatnya saat aku masih menjadi mahasiswa baru. Aku kenal Alvin lewat jejaring sosial facebook. Perkenalan yang cukup memuakkan  bagiku, bualannya yang mengaku-ngaku sesama mahasiswa baru membuatku tak menyisakan sedikitpun ruang untuk berdamai dengannya.
Sejak aku mencium kebusukannya dan berhasil menguak kebenaran bahwa sebenarnya ia adalah mahasiswa tingkat akhir, aku memutuskan untuk cuti berbicara padanya. Aku hanya berkomunikasi seperlunya, pura-pura tidak melihatnya dan buang muka saat bertemu.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, hari pertama aku masuk kuliah setelah melewati serangkaian ospek tingkat universitas. Aku berpisah dengan sahabatku Raisa karena ternyata kami beda kelas. Disitu aku bertemu dengan Siska, kami berkenalan dan mulai berteman baik.
Tanpa disangka-sangka, Siska ternyata korban kebusukan Alvin juga. Hih! Tentu saja kami membencinya setengah mati. Kami berjanji tidak akan sampai terbuai oleh rayuan Alvin.
Sampai suatu hari, aku mulai curiga dengan gelagat Siska yang mulai aneh. Ia sering pulang duluan dengan tergesa-gesa. Sepertinya ada yang disembunyikan Siska dari kami. Beberapa hari setelahnya aku mulai mengorek-ngorek informasi dari Siska.
Setelah dipancing akhirnya Siska mengaku juga bahwa sebenarnya ia telah berpacaran dengan Alvin. Sepertinya ia termakan oleh ucapannya sendiri dan melanggar janji kami. Tapi aku tidak marah, malah turut berbahagia melihat kebahagiaan Siska. Belum pernah aku melihat mata Siska yang begitu berbinar-binar memantulkan secerca kebahagiaan di wajah nya.
Waktu berlalu, tak terasa hampir satu semester ku lewati. Goncangan dahsyat mulai menggoyahkan persahabatan kami. Aku dan Siska mulai menjauh sejak kehadiran Raisa. Aku seperti terlupakan. Entah apa ada yang salah dari diriku sehingga ku rasa Siska mulai menjauhiku.
Sedih memang kini kedua sahabatku bersatu dan aku berada di kubu yang berbeda. Sendiri, terabaikan, terlupakan,  tereliminasi,  tersingkirkan dan terasingkan. Inilah yang paling aku takutkan di dunia ini: kehilangan sahabat.
Aku dan Alvin mulai berkomunikasi lagi melalui blackberry messenger. Aku mulai membuang jauh-jauh perasaan kesal ku dan memutuskan untuk berdamai dengannya. Ternyata Alvin dan Siska mulai diterpa cobaan dalam hubungan mereka, mereka sering bertengkar hebat dan putus nyambung. Karena ku pikir mereka berdua sama-sama keras dan kekanak-kanakan.
Alvin sering menanyakan perihal Siska kepadaku, tak jarang ia curhat kepadaku. Berulang kali aku katakan bahwa aku tidak tahu apa-apa soal Siska, aku sudah tidak akrab dengannya. Aku menyarankan agar Alvin bertanya pada Raisa karena Raisa lah yang lebih tahu soal Siska. Tapi tak digubris nya, ia bersikukuh bercerita padaku. Aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik saja.
Setelah lelah putus nyambung, nampaknya kali ini tidak ada lagi kesempatan untuk mereka bersatu. Mereka sepakat untuk mengakhiri ini semua. Walaupun ku rasa Siska masih sangat menyayangi Alvin. Alvin yang berstatus jomblo mulai kesana kemari mencari cinta. Termasuk aku, ya Alvin mulai mendekatiku,  ku rasa begitu.  Ia sering mengirimi ku pesan bbm. Tapi aku tak mau kegeeran dulu, aku menganggapnya biasa saja layaknya adik tingkat dan kakak tingkat.
Hanya menghitung hari Alvin dikabarkan merajut asmara kembali bersama Nindy, mantan pacar yang masih kakak tingkatku. Sejak saat itu, Alvin menghilang bak ditelan bumi. Kami tidak pernah berkomunikasi lagi.
Beberapa bulan setelah itu, sosok Alvin datang lagi di kehidupanku. Kami sering bbm an, layaknya baru bertemu teman lama. Seperti biasa, ia selalu putus nyambung dengan pacarnya. Aku mulai mencium ketidakberesan dibalik ini semua. Dan benar saja, Alvin mengajakku main, foto studio dan banyak ajakan yang ia lontarkan. Aku hanya bisa menolak, mencari ribuan alasan menolak demi menghargai perasaan Siska. Aku bisa merasakan bagaimana jika di posisi Siska.
Mulai jengah dengan ini semua, aku memutuskan untuk menceritakan gelagat Alvin kepada Raisa. Aku tak berani jika langsung menceritakannya pada Siska. Jadi aku harap Raisa bisa menjadi perantara. Bagaimana mungkin aku menerima ajakan Alvin, itu akan menyakiti perasaan Siska. Aku berusaha setengah mati menjauhi Alvin. Dan usahaku berhasil. Kini Alvin tidak pernah menghubungiku lagi.
Satu tahun berlalu, Aku dan Alvin mulai berteman dekat. Alvin mulai sering berkunjung ke rumahku, Alvin selalu membantuku jika aku ada kesulitan. Ternyata aku salah menilai nya. Alvin sangat baik. Kami sering berniat untuk menghabiskan waktu berdua selain di rumahku, tapi aku masih ragu. Aku masih tidak enak dengan Siska. Ia belum tahu soal kedekatanku dengan Alvin. Posisiku serba salah. Aku tidak berani bercerita pada Siska. Tapi kalau Siska tahu sendiri dari orang lain aku takut Siska mengiraku main belakang.
Satu hal sepele yang memberatkanku, Alvin meminjami buku Manajemen kepadaku. Sedangkan Siska yang notaben nya minjam duluan malah tidak dipinjamkannya. Mengapa Alvin lebih memilih meminjamkannya padaku? Itu masih menjadi tanda tanya besar untukku. Alasan Alvin katanya Siska meminjamnya dengan cara yang tidak sopan jadi ia malas menggubrisnya. Tapi Alvin berpesan agar merahasiakan ini dari Siska karena tidak enak padanya.
Seminggu berlalu, sepertinya Siska mulai curiga dengan buku yang lebih mirip dengan buku telepon yang selalu aku genggam itu milik Alvin. Seusai pelajaran, aku meletakkan buku itu diatas bangku milik Lita dan pergi keluar dengan Lita. Setibanya di kelas, buku itu berpindah posisi jadi di bangku milik ku.
Aku yakin mereka melihat buku itu tanpa sepengetahuanku. Aku bisa membaca raut muka mereka yang mulai berubah. Ku ceritakan ini semua pada Alvin lewat bbm. Namun saat kuliah berlangsung Raisa meminjam bb ku dan dengan polos membuka bbm. Aku yakin ia pasti membaca bbm ku dan Alvin yang sudah ku end chat.
Tepat hari ini aku merasakan sesuatu yang terus bergejolak di sini, dihatiku. Perasaan yang terus menghantuiku setiap hari. Jantungku tak cukup kuat untuk membendung setiap detak yang tercipta karenanya. Otakku yang tak berhenti memikirkannya. Rasa bahagia yang luar biasa jika ada bbm dari Alvin. Ah! Mungkinkah aku mulai jatuh cinta pada nya?
Tidak! Tidak mungkin! Ini hanya perasaanku saja. Aku tidak akan pernah jatuh cinta kepada Alvin! Awalnya aku mengelak. Aku berusaha membentengi hati agar tidak jatuh cinta padanya. Namun, semakin aku mengelak cinta semakin erat mendekapku, menghipnotisku, dan melumpuhkanku. Semakin hari rasa ini terus tumbuh di taman hatiku. Sebisa mungkin aku melawan rasa yang ada di hati ini, namun semakin kuat aku berusaha semakin kuat pula getaran yang ada, hatiku seperti mau meledak. Ah! Rasanya ingin menyerah. Tapi rasa ini terlanjur menguasai hatiku bahkan seluruh partikel yang ada di dalam tubuhku.
Ya Tuhan, aku harus bagaimana?
Apa aku harus terus memendam perasaan ini?
Atau aku harus berjuang mempertahankan cinta yang telah tumbuh subur di taman hatiku ini?
Atau aku harus menghapus semua memori tentang Alvin dari pikiranku dan membuang jauh-jauh perasaan ini?
Apa aku jahat bila mencintai Alvin?
Apa aku salah?
Kenapa aku tidak boleh jatuh cinta kepada Alvin?
Bangun Giska Renanda! ayo lekas bangun dari mimpi buruk ini! Aku mencubit pipiku dan menamparnya berulang kali. Ku harap ini hanya mimpi buruk dan aku harus segera bangun dari tidurku. Ternyata pipiku terasa sakit akibat cubitan dan tamparanku sendiri. Dan benar saja aku tidak mimpi, ini sungguhan. Air mata yang menggunung di kelopak mataku berjatuhan satu demi satu.
Sesuatu terbesit di benak ku. Antara logika dan perasaan. Logikanya mereka sudah lama putus dan setiap orang berhak untuk bahagia karena cinta. Tak ada yang melarang untuk jatuh cinta. Cinta itu anugrah, bukan untuk dihindari. Jadi sah sah saja kalau aku jatuh cinta pada Alvin. Tapi disisi lain, aku telah menghancurkan perasaan Siska. Memang mereka telah lama putus, namun siapa yang bisa menjamin bahwa rasa itu sudah benar-benar punah dari hati Siska? Bukti lain sampai saat ini Siska masih belum memiliki pengganti Alvin.
Aku benar-benar terjebak di antara logika dan perasaan. Apakah aku harus berpihak pada logika? Atau pada perasaan?
Tak ada yang salah. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing. Tak ada yang perlu disalahkan dan tak ada yang perlu disesali. Jatuh cinta bukan sesuatu yang salah. Semua orang berhak jatuh cinta. Semua orang berhak bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar