Sabtu, 31 Agustus 2013

Cinta Butuh Waktu


Sore itu langit begitu cerah. Kilauan warna pelangi menghias langit di tengah-tengah hiruk-pikuk Kota Kembang. Membungkus awan hitam dan menyeretnya pergi. Adzan maghrib berkumandang. Waktunya berbuka puasa. Saat itu aku masih di perjalanan pulang, setelah letih seharian mencari baju untuk hari raya.
Aku ingat hari ini ada janji dengan Ares untuk mem-booking tempat buka besama teman-teman sewaktu duduk di Sekolah Dasar. Kebetulan rumah ku dan Ares saling berdekatan, jadi aku meminta tolong Ares untuk menemaniku. Setibanya di rumah aku langsung bersiap-siap.
Ponsel ku berjerit-jerit meminta disentuh. Nampak sebuah pesan bbm dari Ares,
 Sekarang yuk :)
Dalam hitungan detik aku langsung membalasnya.
            Oke :)
Sudah lama aku tidak bertemu Ares, walaupun rumah kami saling berdekatan tapi setumpuk kesibukan membentengi kami untuk bertemu. Sedikit rasa canggung menyelimuti ku. Tapi lama-lama aku bisa mengatasinya. Ada hal yang berbeda dari Ares, ada sesuatu hangat yang terus menerus mengelus-ngelus liang hatiku.
Keesokan harinya, waktu buka bersama pun tiba. Aku meminta izin pada Mama untuk meminjam mobil. Mama mengizinkan asalkan ada teman laki-lakinya karena khawatir aku akan pulang malam. Tanpa pikir panjang aku mengajak Ares. Akhirnya kami berangkat menuju Sekolah Dasar kami tercinta untuk bertemu teman-teman yang lain.
Disana sudah tampak beberapa teman-teman yang sudah datang. Kami pun menghampiri mereka untuk sekedar berjabat tangan dan berbincang-bincang. Tiba-tiba suara Nesya menggema di udara, “Ih, Ares jadi ganteng deh. Sini-sini foto bareng. Mau aku jadiin DP ah biar dikira pacar.” Nesya menggoda Ares.
Mendengar hal itu, Ares hanya tersenyum dan tidak terlalu menghiraukannya. Berbeda denganku yang merasakan rasa ngilu yang menonjok ulu hatiku. Entah apa yang terjadi tapi udara hangat di tempat ini mendadak menyesakkan. Lidahku serasa kelu sehingga sangat sulit untuk memuntahkan kata-kata, bahkan untuk sekedar melengkungkan senyum tipis bibirku terasa membeku. Aku bergeming.
Dasar nenek lampir! dari dulu sampai sekarang ga berubah, tetep centil! Aku mendengus kesal. Tapi aku berusaha sekuat tenaga agar tak seorang pun dapat mendeteksi perasaanku saat ini.
Senja semakin pekat. Sore sudah semakin menua, waktu telah menunjukkan pukul 17.00. Kami pun bergegas masuk ke dalam mobil untuk melakukan perjalanan. Aku duduk dibelakang kemudi sedangkan Ares duduk di sampingku. Tiba-tiba suara nenek lampir itu bergentayangan lagi. “Ares ga mau naik mobil aku nih?” Nesya mengedipkan mata. Ares tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil.
Setibanya di tempat makan, Nesya tak henti-hentinya menggoda Ares. Ingin rasanya aku mengikat lidahnya agar berhenti berkicau. Aku merasakan sebuah ironi menggores hatiku. Isi dadaku dilanda badai hebat dan nyaris melompat keluar dari tempatnya. Aku mencoba tertawa kecil demi merontokkan gemuruh yang ada di dada.
Merasa belum puas melepas rindu, kami berniat mengunjungi sebuah cafe di Bandung. Awalnya aku ragu karena takut kemalaman. Tapi Ares lah yang meyakinkanku. Ia berjanji akan bertanggung jawab di depan Mama. Akhirnya kami melesat menuju cafe tanpa si nenek lampir itu. Ia tidak ikut karena ada urusan. Yes! Hatiku bergejolak riang. Setidaknya kuping ku tidak panas mendengarkan nya terus berkicau.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 22.00. Sekelebat rasa cemas menyelinap masuk ke pikiranku. Aku takut dimarahi Mama. Belum pernah aku pulang se larut ini. Tapi lagi-lagi Ares meyakinkanku. Membuatku sedikit lebih tenang. Ternyata benar, aku tidak dimarahi Mama dan itu semua berkat Ares.
Ares telah pulang ke rumahnya. Tapi entah mengapa sisa-sisa Ares masih terasa disini. Dimana? Di hatiku. Mungkin. Entahlah. Seperti dibangkitkan dalam kubur, Ares mulai bergentayangan di otakku. Makin keras aku memikirkannya, makin keras denyut yang menghantam kepalaku. Begitupun dengan suara nya yang menggema di kepalaku, seolah menggelitik syaraf-syaraf dalam tubuhku.
Hingga saat hari kemenangan tiba, seperti tahun-tahun sebelumnya aku tidak pernah bertemu dengan Ares karena biasanya Ia datang terlambat saat silaturahmi keliling komplek.
Ponselku bergetar, ku pikir hanya broadcast ucapan selamat Idul Fitri. Tapi ternyata aku salah.Ares mengirimiku pesan bbm.
Hey, taun ini kita ga ketemu lagi yah
Secepat kilat aku membalas.
Iya, kamu sih telat datengnya jadi aja ga ketemu
Komunikasi itu berlanjut hingga sesuatu yang mengejutkan mengguncang hatiku. Terselip kata “beb” dalam pesan bbm Ares. Apa aku tidak salah baca? Ares memanggilku dengan sebutan “beb”? Aku nyaris tidak percaya. Rasanya ingin melesat menembus atap saking bahagianya. Sesaat bibirku mulai menyunggingkan senyum termanis yang pernah ku miliki. Hampir setiap pesan bbm kami terselip kata sayang, layaknya dua sejoli yang sedang merajut cinta.
Beberapa hari setelah itu, kami berniat silaturahmi ke rumah guru SD kami yaitu Ibu Yani. Kami memutuskan untuk pergi bersama. Tanpa kami sadari, warna pakaia  kami sama. Yaitu abu-abu dan biru. Padahal kami tidak janjian. Entah faktor kebetulan semata atau faktor sehati. Aku tidak tahu. Yang jelas aku bahagia.
Ada radar yang ditangkap oleh hatiku saat menemukan sosok itu. Ada getar yang tidak bisa di deskripsikan. Ada suka yang tak sanggup berbicara pada bahasa vulgar. Ah rasanya ingin sekali menyerah. Tapi ini berlangsung di luar kesadaranku.
Sesuatu yang menyebalkan membuyarkan lamunan ku. Dasar nenek lampir! Kali ini centilnya kumat lagi. Ia menitip pesan padaku bahwa ia ingin dijemput oleh Ares. Dengan berat hati aku menyampaikanya pada Ares.
“Bep, tuh Nesya pengen dijemput sama kamu” Aku memutar kedua bola mataku dan melipat tangan di dada.
“Kenapa harus sama aku coba? Sama Alvaro aja biar sekalian.” Rupanya Ares bisa membaca dan mengerti gerak-gerik ku.
Menyebalkan! Teman-temanku malah memaksa Ares untuk mau menjemput Nesya karena mengharapkan dapat bingkisan dari Nesya. Maklum, Nesya kan anak orang kaya. “Jangan sama bebep aku sih, sama yang lain aja!” Ucapku keras kepala. Sialnya mereka masih tetap bersikukuh membujuk Ares.
Langit menghitam, derai hujan mulai berguguran membasahi tanah. Untung kami sudah sampai di rumah Ibu Yani. Aku bersyukur, langit sedang berpihak kepadaku. Hujan menghalangi Ares untuk menjemput si nenek lampir centil itu. Tapi Nesya akan menyusul kemari menggunakan jazz putihnya.
Kedatangan Nesya sangat mengusik hatiku. Seperti biasa Nesya mulai beraksi. Menggoda Ares terus menerus. Dan paling menyebalkan lagi, teman-temanku malah berpihak pada Nesya! Aku hanya bergeming. Hatiku terbakar hebat. Tapi bibirku berkhianat, ia malah menyunggingkan senyum termunafik yang pernah ada.
Kenapa aku ini? Kenapa hatiku kalang kabut jika Nesya menggoda Ares? Kenapa aku tak rela jika Ares bersama Nesya? Apa aku….. jatuh cinta pada Ares? Secepat itu kah?
Jatuh cinta pada Ares bukan hal yang salah. Cinta tidak pernah mengumumkan kedatangannya. Ia tidak pernah memilih pada siapa akan datang. Hanya saja cinta itu butuh waktu. Dan waktu yang dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit di prediksi.
Cinta butuh waktu untuk membuat Ares memahami, ada cinta yang lebih masuk akal untuk Ia percayai. Cinta butuh waktu untuk membuat Ares menyadari, ada cinta yang setia menantinya sampai kapanpun. Cinta butuh waktu untuk membuat Ares yakin, bahwa ia menjatuhkan hatinya pada orang yang tepat. Cinta butuh waktu untuk membuat Ares meminta ku bertahan selama-lamanya di taman hatinya.
Dan aku sangat yakin, hari itu pasti akan tiba. Tidak tahu kapan, dimana dan bagaimana cinta akan membawa ku dan Ares pada kebahagian yang kekal abadi untuk selama-lamanya.

Surat Cinta untuk Bian


Langit tiba-tiba menghitam. Bias cahaya matahari padam, hanya mampu berpendar-pendar lemah dibalik awan. Petir menggumam pelan. Derai hujan berkejaran mengikuti gravitasi.
Aku suka saat terpenjarakan hujan, mendengarnya mengetuk-ngetuk atap, memukul-mukul daun jendela, dan yang paling aku suka adalah selalu ada pelangi setelah hujan. Seperti hal nya kesedihan di sudut hati, suatu saat pasti akan terganti senyum yang tersemai indah.
Tapi hujan kali ini sedang tidak berpihakkepadaku, langit tak henti-hentinya menangis, pelangi pun tak kunjung datang. Hujan seolah menggambarkan perasaan ku saat ini. Sebongkah air mata tiba-tiba runtuh dari sudut mataku. Napas ku terasa begitu berat. Hatiku sangat teriris-iris ketika teringat kejadian itu. Suara Bian terus terngiang-ngiang di kepalaku.
"Aku suka Dinda, Git! Kayaknya aku jatuh cinta sama dia. Jangan tanya kenapa aku cinta dia. Karena aku mencintainya tanpa alasan."
Bian suka Dinda? Ya Tuhaaan, kenapa aku begitu lemas mendengarnya? Jantungku seperti mogok mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Seharusnya aku ikut bahagia jika Bian telah menemukan belahan jiwanya.
Rasa khawatir menyerang hatiku. Jiwaku teraduk-aduk. Berjuta pertanyaan menyelimuti pikiranku. Kenapa harus Dinda sih? Kenapa harus cewek itu? Kenapa aku ga rela ya Tuhan? Aku lebih rela kalo Bian suka sama cewek paling cantik, kaya, baik hati sejagat raya sekalipun. Asal jangan sama Dinda!
Aku takut kehilangan Bian, walaupun sosoknya belum lama ini mewarnai hariku tapi aku merasa ia telah lama bertengger disini, dihatiku. Dihatiku? Ah, bicara apa aku ini? Hati? Apa aku menaruh hati padanya? Ku rasa tidak. Tapi mengapa rasa takut ini terus menerus menghantuiku?
Seminggu kemudian aku bertemu Bian, melepas rasa rindu yang semakin lama menggerogoti ruang hatiku. Kami selalu menyimpan banyak cerita untuk diceritakan ketika kami bertemu. Tapi kali ini aku tidak bercerita apa-apa pada Bian. Aku lebih memilih diam seribu bahasa.
Ku tahan sekuat tenaga agar air mata ini tidak jatuh berguguran di depan Bian. Dan aku berhasil. Sungguh aku ini artis berbakat! Bian pun tak menyadari atas apa yang terjadi kepadaku. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri pertemuan ini.
Setibanya di rumah aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak bisa melakukan apa-apa, aku hanya ingin Bian bahagia. Walaupun hati ini tak sanggup menahan sakit ketika nama itu keluar dari bibir Bian.
Beberapa hari kemudian ponselku menjerit-jerit pertanda ada pesan masuk. Rupanya ada sms dari Bian.
Nagitaaaa, aku udah jadian sama Dinda. Aku seneng banget nih :D
Tubuhku berasa tertimpa batu sebesar 1 ton. Telepon genggam ku seperti mengembang menjadi 1000 kali lipat lebih berat dari biasanya, tanganku tak sanggup menahannya hingga ponsel itu terjatuh. Aku terdiam, tak percaya.
Rasanya jari-jari ku tak sanggup untuk menyentuh tombol yang ada pada telepon genggam. Aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk membalas pesan Bian.
Oya? Selamat ya. Aku ikut seneng deh. Semoga langgeng ya :)
Dengan berat hati ku kirimkan sms itu. Sungguh sebenarnya emotion itu bukan titik dua kurung tutup, tapi titik dua kurung buka alias emotion sedih.
Hari memeluk hari. Kekhawatiranku selama ini terjawab sudah, Dinda melabrak ku tadi pagi di kantin. Ia minta aku jauhi Bian dan mengancam akan membuat hidupku tak tenang jika masih dekat-dekat dengan Bian.
Dinda telah mendoktrin Bian. Apa yang Dinda mau selalu diturutinya, termasuk menjauhi ku. Sungguh ia telah benar-benar merubah sosok Bian yang selama ini aku kenal.
Aku sering memergoki Dinda yang sedang berkencan dengan pria lain.  Berkali-kali ku beritahu Bian tentang hal ini, berkali-kali pula ia menyangkal. Tak jarang ia marah kepadaku dan mengira ku yang tidak-tidak. Sungguh cinta nya pada Dinda telah membutakan mata hati Bian.
Bian berubah drastis sejak jatuh cinta pada Dinda. Gadis itu telah mengubahnya 180 derajat. Aku sangat sedih, hatiku sangat terpukul. Aku benar-benar kehilangan Bian. Mungkin untuk selama-lamanya. Kini Bian telah menghilang bagaikan ditelan bumi.
Pada malam ulang tahun Bian yang ke-20, Bian berniat untuk memberikan surprise kepada Dinda. Tanpa sepengetahuan Dinda, diam-diam Bian sudah memesan hotel untuk Candle Light Dinner. Tak lupa Bian mampir ke Toko Mas untuk membeli cincin. Bian rupanya ingin melamar Dinda.
Saat Bian keluar dari Toko Mas, mata nya tiba-tiba tertuju pada sosok perempuan yang seperinya tak asing baginya. Bian menyipitkan mata. Dinda! Tunggu dulu, dengan siapa dia? Kemudian Ia melirik ke arah lelaki disebelah Dinda. Oh my God, Rizfa! Kenapa Rizfa bisa merangkul Dinda?
Hanya terpaut beberapa detik, Bian langsung menghampiri mereka.
“Kurang ajar, teman macam apa kamu?” Sebuah tonjokan melayang di kepala Rizfa.
Dinda kaget setengah mampus! Kedok nya selama ini terbongkar.
“Tunggu Bian, aku bisa jelasin semuanya”
“Ga perlu, semua udah jelas. Aku udah liat pake mata kepala aku kalo cewe yang aku sayang ternyata selingkuh dengan sahabat ku sendiri!”
“Tenang dulu bro.. ini semua salah paham.”
“Ga usah banyak omong, dasar penghianat!” Bian menarik kerah baju Rizfa kemudian menonjok wajah Rizfa berkali-kali sampai darah segar mengalir di bibir Rizfa.
Dengan emosi yang menggebu-gebu Bian meninggalkan mereka. Ia langsung menuju basement kemudian tancap gas sekencang-kencangnya. Ia masih tidak percaya jika mereka tega menusuknya dari belakang. Sangat menyedihkan, seharusnya di hari ulang tahun nya ia bahagia.
Sesampainya di rumah, bayangan ku terlintas di benak Bian. Kemudian ia mencoba menghubungiku tapi gagal. Aku sudah ganti nomor dan Bian sengaja tak aku beritahu. Ia berusaha keras mencari ku, tapi hasilnya 0 besar. Sampai akhirnya Bian membuka akun facebook ku dan menemukan sebuah note yang aku buat sejak lama.

Bandung, 22 Juli 2011
Dear Bian,

Tak terasa waktu bergulir begitu cepat.
Seharusnya semakin hari kita semakin akrab.
Tetapi, aku merasa saat ini terbentang jarak diantara kita.
Kita semakin menjauh bagai langit dan bumi
 
Entah apa yang sebenarnya terjadi.
Keceriaanku sungguh sirna sejak engkau tak disini.
Jutaan cerita terpendam disini tanpa sempat aku bisikkan kepadamu.
Sejak engkau mengenal Dinda, sungguh kau berubah drastis.
Kau melupakanku dan semua kenangan kita.
 
Aku kecewa, sangat kecewa
Tapi gejolak cinta di dada ini mengalahkan semuanya
Aku sayang kamu
Bukan sebagai sahabat, tapi melebihi segalanya
 
Maaf jika aku sayang kamu
Tapi tak dapat ku pungkiri
Karena hati tak bisa berbohong
Maafkan aku, Sahabat…

With love,
Nagita

Setelah membaca note ku, Bian tercengang. Hatinya kalang kabut. Butiran bening tiba-tiba rontok dari sudut matanya. Ia lantas tancap gas ke rumah ku.
"Gita, aku minta maaf. Aku salah besar. Ternyata kamu lah satu-satunya gadis yang mencintaiku dengan tulus. Maafkan aku, aku sangat menyesal. Ku mohon maafkan aku dan jadilah cinta terakhirku. Aku sayang kamu Nagita. " Bian memohon sambil berlutut dihadapanku.
"Tak perlu minta maaf, aku sudah memaafkanmu dari dulu. Tak ada yang perlu disesali. Tapi maaf aku tak bisa"
"Kenapa Git? Bukan kah kita memiliki perasaan yang sama? Kenapa kita tidak mencoba menjalaninya? Ku mohon. Aku sayang kamu Nagita Ristiana" Ucap Bian, lirih.
Dengan tegas aku berkata, “Aku memang sayang kamu, tapi itu dulu. Kini aku telah mengikhlaskanmu dan menganggapmu sahabat. Perasaanku padamu benar-benar hanya sebatas sahabat. Maafkan aku.”
Sesaat kemudian Arfin datang dan merangkul pinggangku tanpa menghiraukan kehadiran Bian.
"Sudah siap sayang?"
Aku pun mengangguk.
"Maaf aku sudah ada janji. Bye..."
Kami pun meninggalkan Bian di depan rumahku. Membiarkannya sendiri dan menyesali perbuatannya. Aku hanya ingin bahagia. Dan kebahagiaan ku saat ini adalah Arfin. Terimakasih Tuhan telah mengirimkan Arfin untukku :)

Selasa, 27 Agustus 2013

Tentang Perasaan dan Logika

Malam itu, disini, diantara keempat dinding kamarku, diatas kasur mungil kesayanganku, aku merebahkan tubuhku untuk melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Kepalaku pening berat, rasanya mau pecah. Ada keresahan yang memborbardir pertahanan hatiku. Aku seolah terperangkap di dalam kegundahan yang aku sendiri tidak mengetahui apa penyebabnya.
Alvino Dimas Nugraha, ya aku yakin dialah yang seharusnya bertanggung jawab atas segala keresahan yang mengoyak batinku ini. Alvin adalah kakak tingkatku dikampus. Rumahku dan rumahnya cukup dekat, bisa ditempuh sekitar 3 menit jika menggunakan sepeda motor. Itulah sebabnya belakangan ini ia sering berkunjung ke rumahku. Entah membantu mengerjakan tugasku, mengajariku materi mata kuliah yang tidak aku pahami, atau sekedar untuk mengobrol denganku.
Alvin adalah pria yang baik dan berasal dari keluarga yang baik-baik pula. Cukup manis, kulitnya yang sawo matang, badannya yang pas, tidak kurus dan tidak gemuk tapi lebih tinggi 5cm diatasku, wajahnya yang lonjong, alisnya yang tebal, matanya yang tegas, hidungnya yang mancung, dan senyumnya yang meneduhkan hati siapapun yang melihatnya. Ia baik hati dan suka menolong, tampak jelas keikhlasan yang terpancar dari wajahnya setiap kali ia membantuku.
Satu tahun yang lalu, tepatnya saat aku masih menjadi mahasiswa baru. Aku kenal Alvin lewat jejaring sosial facebook. Perkenalan yang cukup memuakkan  bagiku, bualannya yang mengaku-ngaku sesama mahasiswa baru membuatku tak menyisakan sedikitpun ruang untuk berdamai dengannya.
Sejak aku mencium kebusukannya dan berhasil menguak kebenaran bahwa sebenarnya ia adalah mahasiswa tingkat akhir, aku memutuskan untuk cuti berbicara padanya. Aku hanya berkomunikasi seperlunya, pura-pura tidak melihatnya dan buang muka saat bertemu.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, hari pertama aku masuk kuliah setelah melewati serangkaian ospek tingkat universitas. Aku berpisah dengan sahabatku Raisa karena ternyata kami beda kelas. Disitu aku bertemu dengan Siska, kami berkenalan dan mulai berteman baik.
Tanpa disangka-sangka, Siska ternyata korban kebusukan Alvin juga. Hih! Tentu saja kami membencinya setengah mati. Kami berjanji tidak akan sampai terbuai oleh rayuan Alvin.
Sampai suatu hari, aku mulai curiga dengan gelagat Siska yang mulai aneh. Ia sering pulang duluan dengan tergesa-gesa. Sepertinya ada yang disembunyikan Siska dari kami. Beberapa hari setelahnya aku mulai mengorek-ngorek informasi dari Siska.
Setelah dipancing akhirnya Siska mengaku juga bahwa sebenarnya ia telah berpacaran dengan Alvin. Sepertinya ia termakan oleh ucapannya sendiri dan melanggar janji kami. Tapi aku tidak marah, malah turut berbahagia melihat kebahagiaan Siska. Belum pernah aku melihat mata Siska yang begitu berbinar-binar memantulkan secerca kebahagiaan di wajah nya.
Waktu berlalu, tak terasa hampir satu semester ku lewati. Goncangan dahsyat mulai menggoyahkan persahabatan kami. Aku dan Siska mulai menjauh sejak kehadiran Raisa. Aku seperti terlupakan. Entah apa ada yang salah dari diriku sehingga ku rasa Siska mulai menjauhiku.
Sedih memang kini kedua sahabatku bersatu dan aku berada di kubu yang berbeda. Sendiri, terabaikan, terlupakan,  tereliminasi,  tersingkirkan dan terasingkan. Inilah yang paling aku takutkan di dunia ini: kehilangan sahabat.
Aku dan Alvin mulai berkomunikasi lagi melalui blackberry messenger. Aku mulai membuang jauh-jauh perasaan kesal ku dan memutuskan untuk berdamai dengannya. Ternyata Alvin dan Siska mulai diterpa cobaan dalam hubungan mereka, mereka sering bertengkar hebat dan putus nyambung. Karena ku pikir mereka berdua sama-sama keras dan kekanak-kanakan.
Alvin sering menanyakan perihal Siska kepadaku, tak jarang ia curhat kepadaku. Berulang kali aku katakan bahwa aku tidak tahu apa-apa soal Siska, aku sudah tidak akrab dengannya. Aku menyarankan agar Alvin bertanya pada Raisa karena Raisa lah yang lebih tahu soal Siska. Tapi tak digubris nya, ia bersikukuh bercerita padaku. Aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik saja.
Setelah lelah putus nyambung, nampaknya kali ini tidak ada lagi kesempatan untuk mereka bersatu. Mereka sepakat untuk mengakhiri ini semua. Walaupun ku rasa Siska masih sangat menyayangi Alvin. Alvin yang berstatus jomblo mulai kesana kemari mencari cinta. Termasuk aku, ya Alvin mulai mendekatiku,  ku rasa begitu.  Ia sering mengirimi ku pesan bbm. Tapi aku tak mau kegeeran dulu, aku menganggapnya biasa saja layaknya adik tingkat dan kakak tingkat.
Hanya menghitung hari Alvin dikabarkan merajut asmara kembali bersama Nindy, mantan pacar yang masih kakak tingkatku. Sejak saat itu, Alvin menghilang bak ditelan bumi. Kami tidak pernah berkomunikasi lagi.
Beberapa bulan setelah itu, sosok Alvin datang lagi di kehidupanku. Kami sering bbm an, layaknya baru bertemu teman lama. Seperti biasa, ia selalu putus nyambung dengan pacarnya. Aku mulai mencium ketidakberesan dibalik ini semua. Dan benar saja, Alvin mengajakku main, foto studio dan banyak ajakan yang ia lontarkan. Aku hanya bisa menolak, mencari ribuan alasan menolak demi menghargai perasaan Siska. Aku bisa merasakan bagaimana jika di posisi Siska.
Mulai jengah dengan ini semua, aku memutuskan untuk menceritakan gelagat Alvin kepada Raisa. Aku tak berani jika langsung menceritakannya pada Siska. Jadi aku harap Raisa bisa menjadi perantara. Bagaimana mungkin aku menerima ajakan Alvin, itu akan menyakiti perasaan Siska. Aku berusaha setengah mati menjauhi Alvin. Dan usahaku berhasil. Kini Alvin tidak pernah menghubungiku lagi.
Satu tahun berlalu, Aku dan Alvin mulai berteman dekat. Alvin mulai sering berkunjung ke rumahku, Alvin selalu membantuku jika aku ada kesulitan. Ternyata aku salah menilai nya. Alvin sangat baik. Kami sering berniat untuk menghabiskan waktu berdua selain di rumahku, tapi aku masih ragu. Aku masih tidak enak dengan Siska. Ia belum tahu soal kedekatanku dengan Alvin. Posisiku serba salah. Aku tidak berani bercerita pada Siska. Tapi kalau Siska tahu sendiri dari orang lain aku takut Siska mengiraku main belakang.
Satu hal sepele yang memberatkanku, Alvin meminjami buku Manajemen kepadaku. Sedangkan Siska yang notaben nya minjam duluan malah tidak dipinjamkannya. Mengapa Alvin lebih memilih meminjamkannya padaku? Itu masih menjadi tanda tanya besar untukku. Alasan Alvin katanya Siska meminjamnya dengan cara yang tidak sopan jadi ia malas menggubrisnya. Tapi Alvin berpesan agar merahasiakan ini dari Siska karena tidak enak padanya.
Seminggu berlalu, sepertinya Siska mulai curiga dengan buku yang lebih mirip dengan buku telepon yang selalu aku genggam itu milik Alvin. Seusai pelajaran, aku meletakkan buku itu diatas bangku milik Lita dan pergi keluar dengan Lita. Setibanya di kelas, buku itu berpindah posisi jadi di bangku milik ku.
Aku yakin mereka melihat buku itu tanpa sepengetahuanku. Aku bisa membaca raut muka mereka yang mulai berubah. Ku ceritakan ini semua pada Alvin lewat bbm. Namun saat kuliah berlangsung Raisa meminjam bb ku dan dengan polos membuka bbm. Aku yakin ia pasti membaca bbm ku dan Alvin yang sudah ku end chat.
Tepat hari ini aku merasakan sesuatu yang terus bergejolak di sini, dihatiku. Perasaan yang terus menghantuiku setiap hari. Jantungku tak cukup kuat untuk membendung setiap detak yang tercipta karenanya. Otakku yang tak berhenti memikirkannya. Rasa bahagia yang luar biasa jika ada bbm dari Alvin. Ah! Mungkinkah aku mulai jatuh cinta pada nya?
Tidak! Tidak mungkin! Ini hanya perasaanku saja. Aku tidak akan pernah jatuh cinta kepada Alvin! Awalnya aku mengelak. Aku berusaha membentengi hati agar tidak jatuh cinta padanya. Namun, semakin aku mengelak cinta semakin erat mendekapku, menghipnotisku, dan melumpuhkanku. Semakin hari rasa ini terus tumbuh di taman hatiku. Sebisa mungkin aku melawan rasa yang ada di hati ini, namun semakin kuat aku berusaha semakin kuat pula getaran yang ada, hatiku seperti mau meledak. Ah! Rasanya ingin menyerah. Tapi rasa ini terlanjur menguasai hatiku bahkan seluruh partikel yang ada di dalam tubuhku.
Ya Tuhan, aku harus bagaimana?
Apa aku harus terus memendam perasaan ini?
Atau aku harus berjuang mempertahankan cinta yang telah tumbuh subur di taman hatiku ini?
Atau aku harus menghapus semua memori tentang Alvin dari pikiranku dan membuang jauh-jauh perasaan ini?
Apa aku jahat bila mencintai Alvin?
Apa aku salah?
Kenapa aku tidak boleh jatuh cinta kepada Alvin?
Bangun Giska Renanda! ayo lekas bangun dari mimpi buruk ini! Aku mencubit pipiku dan menamparnya berulang kali. Ku harap ini hanya mimpi buruk dan aku harus segera bangun dari tidurku. Ternyata pipiku terasa sakit akibat cubitan dan tamparanku sendiri. Dan benar saja aku tidak mimpi, ini sungguhan. Air mata yang menggunung di kelopak mataku berjatuhan satu demi satu.
Sesuatu terbesit di benak ku. Antara logika dan perasaan. Logikanya mereka sudah lama putus dan setiap orang berhak untuk bahagia karena cinta. Tak ada yang melarang untuk jatuh cinta. Cinta itu anugrah, bukan untuk dihindari. Jadi sah sah saja kalau aku jatuh cinta pada Alvin. Tapi disisi lain, aku telah menghancurkan perasaan Siska. Memang mereka telah lama putus, namun siapa yang bisa menjamin bahwa rasa itu sudah benar-benar punah dari hati Siska? Bukti lain sampai saat ini Siska masih belum memiliki pengganti Alvin.
Aku benar-benar terjebak di antara logika dan perasaan. Apakah aku harus berpihak pada logika? Atau pada perasaan?
Tak ada yang salah. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing. Tak ada yang perlu disalahkan dan tak ada yang perlu disesali. Jatuh cinta bukan sesuatu yang salah. Semua orang berhak jatuh cinta. Semua orang berhak bahagia.