Senin, 07 September 2015

Dua Sahabat yang Patah Hati Dikala Senja


Sore itu,
Ketika matahari akan kembali ke peraduan
Dua orang sahabat sedang duduk di kursi kayu sambil menatap langit
Mereka menantikan kehadiran  jingga diujung senja
Berharap cahaya jingga akan menerangi hati mereka yang dirundung duka
Kemudian mengubur dan menenggelamkannya mereka bersama matahari

Hening memekakkan telinga
Mereka saling terdiam,
Pandangan mereka berkeliaran pada langit disana
Mencari-cari keberadaan jingga
Tetapi langit kelabu masih saja menutupi indahnya cakrawala
Jingga tak jua mau menampakkan dirinya
Hanya ada awan gusar yang sebentar lagi akan mengeluarkan tetes-tetes air kegalauan
(dibaca: hujan)

Lalu mereka bertanya-tanya.
Ini senja atau malam?
Mengapa kami tidak bisa melihat  jingga?
Apakah  senja sudah berlalu?
Tega sekali tidak izin pamit pulang
Padahal kami sangat membutuhkannya
Untuk hati kami yang rapuh dan  hampir mati
Tetapi nampaknya ini belum malam
Sendandung adzan maghrib belum berkumandang
Sayup-sayup pun tidak terdengar sama sekali
Itu tandanya ini masih senja
Matahari belum pulang ke peraduan
Tetapi tertahan oleh kumpulan awan hitam

Kristal bening mulai membasahi kulit mereka
Nampaknya awan hitam itu mulai jenuh
Hingga mulai mengeluarkan  tetes-tetes air kegalauan
Hujan, janganlah menjadi pertanda air mata yang akan jatuh terurai
Aamiin.. semoga saja.

Tetapi tunggu dulu, ini bukan hujan
Ini air mata dari kedua sahabat yang sedang patah hati itu
Mereka  menangis sejadi-jadinya meratapi nasib mereka
Miris sekali memang,
Mengapa lagi-lagi hati mereka dengan mudah dipatahkan oleh pria-pria sialan?
Mengapa kasih sayang dan cinta mereka sama sekali tidak dihargai oleh pria-pria sialan itu?
Mengapa pria-pria sialan  itu sama sekali tidak bersyukur telah memiliki mereka?

Cinta memang kejam
Mereka yang tulus mencintai malah disia-siakan
Tetapi yang bertopeng malah diperjuangkan mati-matian
Apa yang ada di benak pria-pria sialan  itu?
Logika mereka sama sekali tidak berguna
Mereka bodoh, sangat bodoh.
Gengsi yang mempertahankan logika mereka yang bodoh itu

Coba saja mereka sedikit menggunakan kecedasan emosinya
Bisa merasakan dan berempati tentang perasaan wanita
Pasti di dunia ini tidak akan ada lagi wanita yang tersakiti
Logika memang berbanding terbalik dengan perasaan
Tetapi seharusnya bisa saling melengkapi

Lihatlah sekarang kedua sahabat yang sedang patah hati itu
Rapuh, lemah, dan tidak berdaya
Hanya bisa menangis
Dimana senja mereka?
Sudah pergi dibawa malam
Kata angin yang bertiup kala itu

Sudahlah, kini sudah malam.
Matahari sudah tenggelam, pun dengan patah hati mereka
Seharusnya sudah ikut tenggelam juga
Tetapi masih saja mereka patah hati
Karena hati mereka masih tertinggal di lembayung senja