Rabu, 04 Februari 2015

Logika yang Tidak Berperasaan

"Hujan yang datang dengan tiba-tiba dan deras akan lebih cepat reda dibandingkan dengan hujan yang datang secara perlahan. Begitu pula dengan cinta."

Aku tidak tahu itu teori darimana. Tetapi itu memang benar. Seharusnya dari dulu aku percaya itu. Ku pikir itu hanya sebuah hipotesis yang belum jelas terbukti kebenarannya.

Dulu aku pernah mengatakannya kepadamu saat kau mulai mengendap-ngendap masuk ke dalam kehidupanku. Kau bilang teori itu tidak benar dan kamu bisa membuktikannya. Lalu saking tingginya intelegensimu, kamu berani menatang teori. Merangkai kerangka berpikir dengan logika tapi melupakan emosi. Sayang sekali, hipotesis mu tidak terbukti.

Masih teringat jelas dalam benakku ketika dulu kamu begitu terobsesi untuk memilikiku. Kamu berusaha melalukan apapun demi kebahagiaanku. Kamu rela melakukan apapun untukku. Disitu kamu terlihat begitu memperjuangkanku. Kamu memang baik, pintar dan sangat cerdas. Aku akui itu. Tapi sayang, kamu melupakan satu hal: emosi.

Aku sama sekali tidak akan pernah melupakan sedikitpun kebaikanmu. Aku banyak berhutang budi kepadamu. Kamu memang baik. Entah memang sifat alami dalam dirimu ataukah sebenarnya ada maksud lain dibalik kebaikanmu (dibaca: pura-pura baik)

Kamu memang pintar. Logikamu memang selalu benar tapi tidak pernah tepat. Jalan pikiranmu sangat rasional tetapi tidak melibatkan unsur perasaan didalamnya. Kamu pintar menyembunyikan segala sesuatu yang kau tak suka dariku. Entah kamu yang terlalu pintar ataukah aku yang terlalu bodoh dan tidak peka.

Kamu juga memang cerdas. Intelegensimu diatas rata-rata. Kamu memiliki kemampuan untuk membuatku jatuh hati. Kamu selalu memiliki cara tersendiri untuk membuat aku mencintaimu. Kamu bisa membuatku menjadi seperti ini. Kamu memang hebat!

Tapi sayang. Logika mu terlalu tinggi. Sehingga kamu menyepelekan unsur perasaan. Kamu terlalu banyak melihat yang kebenaran yang sebenarnya semu. Tanpa mendengarkan suara hati yang sudah pasti nyata.

Kecerdasan intelektualmu memang tinggi. Tetapi kecerdasan emosionalmu nol besar. Kamu selalu berlindung dibalik logika dan selalu menyalahkan perasaan. Rasa empati mu sangat rendah bahkan mungkin kamu tidak memiliki itu. Kamu tidak bisa memposisikan dirimu menjadi aku sehingga kamu tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya jadi aku.

Kamu bilang, kamu mengerti posisi aku. Tetapi lagi-lagi kamu selalu melindungi diri dibalik logika, logika dan logika. Segala sesuatunya harus dilihat dari sudut pandang logika ? Kamu salah besar! Sudahlah. Aku sudah muak dengan logikamu yang tidak berperasaan.

Dulu kamu tiba-tiba datang dan mengajakku berlari menuju kebahagiaan ketika aku sedang sakit kaki. Seperti malaikat tak bersayap, dengan sabar kau coba mengobati lukaku hingga nyaris kering dan hampir siap untuk berlari. Ketika aku telah selesai mengumpulkan segenap kekuatan untuk berlari bersamamu, ketika itu pula kamu malah berpaling. Berlari bersama orang lain didepanku. Meninggalkan luka baru yang begitu pedih dan menyakitkan.

Luka itu belum sepenuhnya kering. Kini kau malah menambah luka baru disaat yang tidak tepat. Kamu tahu posisi aku sekarang ? Aku sangat butuh suntikan motivasi ekstern untuk melanjutkan tugas akhirku sebagai mahasiswa tingkat akhir. Bukankah kamu juga mahasiswa tingkat akhir? Kamu tahu kan bagaimana sulitnya menaklukan skripsi dan dosen pembimbing ? Susah payah aku menghilangkan berbagai emosi negatif dan membuangnya jauh-jauh dari pikiranku. Kamu malah menambah beban pikiranku dengan hal yang tidak penting seperti ini.

Sakit rasanya. Pantas saja beberapa hari ini ada sesuatu yang mengusik batinku. Begitu terasa ngilu tak tertahankan. Aku tidak tahu pasti mengapa aku merasakan itu. Tetapi suara hatiku seperti mengisyaratkan sesuatu. Memberi petunjuk lewat intuisi.

Ternyata banyak sekali yang kamu sembunyikan dari aku. Padahal dari awal sudah ku tekankah bahwa kejujuran adalah segalanya. Aku paling tidak suka dibohongi!

Aku masih tidak percaya kamu tega melalukan hal ini kepadaku. Aku tidak menyangka Mr. Right ternyata bisa dengan cepat berubah menjadi Mr. Totally Wrong!

Aku tidak menyalahkan kamu ataupun wanita itu. Disini aku juga salah. Tetapi yang aku sayangkan adalah caramu pergi. Andai saja kamu berterus terang. Bukan dengan cara seperti ini, aku mengetahuinya dari orang lain. Bukan dari kamu langsung. Itu teramat menyakitkan.

Air mataku tidak henti-hentinya mengalir. Jika aku putri duyung, mungkin aku sudah menjadi kaya raya karena menghasilkan jutaan ton mutiara. Tetapi aku hanya wanita biasa yang hatinya terluka. Tak kuasa menahan sakit yang teramat sangat hingga tidak bisa berkata apa-apa lagi selain meluapkannya lewat tangisan.

Apakah kamu berpikir. Di dalam tangisku aku menyelipkan banyak doa untukmu. Aku mendengus dalam hati. Mengeluarkan sumpah serapah yang tertuju kepadamu. Aku benar-benar membencimu. Aku memaafkanmu dan mengikhlaskanmu dengan wanita lain. Tetapi sampai kapanpun aku tidak akan melupakan ini.

Mungkin saat ini belum terasa efeknya karena kamu masih dibutakan oleh cinta kepada wanita itu. Tapi aku yakin suatu saat akan tiba saatnya semuanya berbalik. Suatu saat kamu akan merasakan sakitnya jadi aku. Suatu saat kamu pasti akan menyesal dan akan membali kepadaku. Tetapi jika saat itu tiba, mohon maaf pintu hatiku sudah tertutup rapat-rapat untukmu.

Aku ingin kamu memiliki rasa empati. Mengetahui bagaimana rasa sakitnya menjadi aku dengan cara merasakannya langsung. Aku ingin memberimu pelajaran. Jika kamu gagal mendapatkan hati wanita lalu kamu dengan entengnya mencari yang baru. Itu bukan berjuang namanya. Tapi kamu hanya terobsesi semata.

Kita lihat nanti suatu saat sumpahku pasti jadi kenyataan. Kini aku hanya tinggal jadi penonton. Menunggu tanggal main dari semua peristiwa yang Allah sutradarai.

Nikmati saja hasil keegoisan logikamu. Suatu saat perasaanku akan menang. Karena sesungguhnya kecerdasan intelektual (logika) hanya berpengaruh 20% dari kesuksesan (kebahagiaan). Itu artinya perasaanku menang 80%  daripada logikamu. Dengan kata lain, aku akan hidup jauh lebih bahagia dibanding kamu dan tentunya aku lebih bahagia tanpamu.

Lihat saja nanti suatu saat aku akan bahagia dan menertawakan logikamu yang tidak berperasaan itu.