Sabtu, 31 Agustus 2013

Surat Cinta untuk Bian


Langit tiba-tiba menghitam. Bias cahaya matahari padam, hanya mampu berpendar-pendar lemah dibalik awan. Petir menggumam pelan. Derai hujan berkejaran mengikuti gravitasi.
Aku suka saat terpenjarakan hujan, mendengarnya mengetuk-ngetuk atap, memukul-mukul daun jendela, dan yang paling aku suka adalah selalu ada pelangi setelah hujan. Seperti hal nya kesedihan di sudut hati, suatu saat pasti akan terganti senyum yang tersemai indah.
Tapi hujan kali ini sedang tidak berpihakkepadaku, langit tak henti-hentinya menangis, pelangi pun tak kunjung datang. Hujan seolah menggambarkan perasaan ku saat ini. Sebongkah air mata tiba-tiba runtuh dari sudut mataku. Napas ku terasa begitu berat. Hatiku sangat teriris-iris ketika teringat kejadian itu. Suara Bian terus terngiang-ngiang di kepalaku.
"Aku suka Dinda, Git! Kayaknya aku jatuh cinta sama dia. Jangan tanya kenapa aku cinta dia. Karena aku mencintainya tanpa alasan."
Bian suka Dinda? Ya Tuhaaan, kenapa aku begitu lemas mendengarnya? Jantungku seperti mogok mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Seharusnya aku ikut bahagia jika Bian telah menemukan belahan jiwanya.
Rasa khawatir menyerang hatiku. Jiwaku teraduk-aduk. Berjuta pertanyaan menyelimuti pikiranku. Kenapa harus Dinda sih? Kenapa harus cewek itu? Kenapa aku ga rela ya Tuhan? Aku lebih rela kalo Bian suka sama cewek paling cantik, kaya, baik hati sejagat raya sekalipun. Asal jangan sama Dinda!
Aku takut kehilangan Bian, walaupun sosoknya belum lama ini mewarnai hariku tapi aku merasa ia telah lama bertengger disini, dihatiku. Dihatiku? Ah, bicara apa aku ini? Hati? Apa aku menaruh hati padanya? Ku rasa tidak. Tapi mengapa rasa takut ini terus menerus menghantuiku?
Seminggu kemudian aku bertemu Bian, melepas rasa rindu yang semakin lama menggerogoti ruang hatiku. Kami selalu menyimpan banyak cerita untuk diceritakan ketika kami bertemu. Tapi kali ini aku tidak bercerita apa-apa pada Bian. Aku lebih memilih diam seribu bahasa.
Ku tahan sekuat tenaga agar air mata ini tidak jatuh berguguran di depan Bian. Dan aku berhasil. Sungguh aku ini artis berbakat! Bian pun tak menyadari atas apa yang terjadi kepadaku. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri pertemuan ini.
Setibanya di rumah aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak bisa melakukan apa-apa, aku hanya ingin Bian bahagia. Walaupun hati ini tak sanggup menahan sakit ketika nama itu keluar dari bibir Bian.
Beberapa hari kemudian ponselku menjerit-jerit pertanda ada pesan masuk. Rupanya ada sms dari Bian.
Nagitaaaa, aku udah jadian sama Dinda. Aku seneng banget nih :D
Tubuhku berasa tertimpa batu sebesar 1 ton. Telepon genggam ku seperti mengembang menjadi 1000 kali lipat lebih berat dari biasanya, tanganku tak sanggup menahannya hingga ponsel itu terjatuh. Aku terdiam, tak percaya.
Rasanya jari-jari ku tak sanggup untuk menyentuh tombol yang ada pada telepon genggam. Aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk membalas pesan Bian.
Oya? Selamat ya. Aku ikut seneng deh. Semoga langgeng ya :)
Dengan berat hati ku kirimkan sms itu. Sungguh sebenarnya emotion itu bukan titik dua kurung tutup, tapi titik dua kurung buka alias emotion sedih.
Hari memeluk hari. Kekhawatiranku selama ini terjawab sudah, Dinda melabrak ku tadi pagi di kantin. Ia minta aku jauhi Bian dan mengancam akan membuat hidupku tak tenang jika masih dekat-dekat dengan Bian.
Dinda telah mendoktrin Bian. Apa yang Dinda mau selalu diturutinya, termasuk menjauhi ku. Sungguh ia telah benar-benar merubah sosok Bian yang selama ini aku kenal.
Aku sering memergoki Dinda yang sedang berkencan dengan pria lain.  Berkali-kali ku beritahu Bian tentang hal ini, berkali-kali pula ia menyangkal. Tak jarang ia marah kepadaku dan mengira ku yang tidak-tidak. Sungguh cinta nya pada Dinda telah membutakan mata hati Bian.
Bian berubah drastis sejak jatuh cinta pada Dinda. Gadis itu telah mengubahnya 180 derajat. Aku sangat sedih, hatiku sangat terpukul. Aku benar-benar kehilangan Bian. Mungkin untuk selama-lamanya. Kini Bian telah menghilang bagaikan ditelan bumi.
Pada malam ulang tahun Bian yang ke-20, Bian berniat untuk memberikan surprise kepada Dinda. Tanpa sepengetahuan Dinda, diam-diam Bian sudah memesan hotel untuk Candle Light Dinner. Tak lupa Bian mampir ke Toko Mas untuk membeli cincin. Bian rupanya ingin melamar Dinda.
Saat Bian keluar dari Toko Mas, mata nya tiba-tiba tertuju pada sosok perempuan yang seperinya tak asing baginya. Bian menyipitkan mata. Dinda! Tunggu dulu, dengan siapa dia? Kemudian Ia melirik ke arah lelaki disebelah Dinda. Oh my God, Rizfa! Kenapa Rizfa bisa merangkul Dinda?
Hanya terpaut beberapa detik, Bian langsung menghampiri mereka.
“Kurang ajar, teman macam apa kamu?” Sebuah tonjokan melayang di kepala Rizfa.
Dinda kaget setengah mampus! Kedok nya selama ini terbongkar.
“Tunggu Bian, aku bisa jelasin semuanya”
“Ga perlu, semua udah jelas. Aku udah liat pake mata kepala aku kalo cewe yang aku sayang ternyata selingkuh dengan sahabat ku sendiri!”
“Tenang dulu bro.. ini semua salah paham.”
“Ga usah banyak omong, dasar penghianat!” Bian menarik kerah baju Rizfa kemudian menonjok wajah Rizfa berkali-kali sampai darah segar mengalir di bibir Rizfa.
Dengan emosi yang menggebu-gebu Bian meninggalkan mereka. Ia langsung menuju basement kemudian tancap gas sekencang-kencangnya. Ia masih tidak percaya jika mereka tega menusuknya dari belakang. Sangat menyedihkan, seharusnya di hari ulang tahun nya ia bahagia.
Sesampainya di rumah, bayangan ku terlintas di benak Bian. Kemudian ia mencoba menghubungiku tapi gagal. Aku sudah ganti nomor dan Bian sengaja tak aku beritahu. Ia berusaha keras mencari ku, tapi hasilnya 0 besar. Sampai akhirnya Bian membuka akun facebook ku dan menemukan sebuah note yang aku buat sejak lama.

Bandung, 22 Juli 2011
Dear Bian,

Tak terasa waktu bergulir begitu cepat.
Seharusnya semakin hari kita semakin akrab.
Tetapi, aku merasa saat ini terbentang jarak diantara kita.
Kita semakin menjauh bagai langit dan bumi
 
Entah apa yang sebenarnya terjadi.
Keceriaanku sungguh sirna sejak engkau tak disini.
Jutaan cerita terpendam disini tanpa sempat aku bisikkan kepadamu.
Sejak engkau mengenal Dinda, sungguh kau berubah drastis.
Kau melupakanku dan semua kenangan kita.
 
Aku kecewa, sangat kecewa
Tapi gejolak cinta di dada ini mengalahkan semuanya
Aku sayang kamu
Bukan sebagai sahabat, tapi melebihi segalanya
 
Maaf jika aku sayang kamu
Tapi tak dapat ku pungkiri
Karena hati tak bisa berbohong
Maafkan aku, Sahabat…

With love,
Nagita

Setelah membaca note ku, Bian tercengang. Hatinya kalang kabut. Butiran bening tiba-tiba rontok dari sudut matanya. Ia lantas tancap gas ke rumah ku.
"Gita, aku minta maaf. Aku salah besar. Ternyata kamu lah satu-satunya gadis yang mencintaiku dengan tulus. Maafkan aku, aku sangat menyesal. Ku mohon maafkan aku dan jadilah cinta terakhirku. Aku sayang kamu Nagita. " Bian memohon sambil berlutut dihadapanku.
"Tak perlu minta maaf, aku sudah memaafkanmu dari dulu. Tak ada yang perlu disesali. Tapi maaf aku tak bisa"
"Kenapa Git? Bukan kah kita memiliki perasaan yang sama? Kenapa kita tidak mencoba menjalaninya? Ku mohon. Aku sayang kamu Nagita Ristiana" Ucap Bian, lirih.
Dengan tegas aku berkata, “Aku memang sayang kamu, tapi itu dulu. Kini aku telah mengikhlaskanmu dan menganggapmu sahabat. Perasaanku padamu benar-benar hanya sebatas sahabat. Maafkan aku.”
Sesaat kemudian Arfin datang dan merangkul pinggangku tanpa menghiraukan kehadiran Bian.
"Sudah siap sayang?"
Aku pun mengangguk.
"Maaf aku sudah ada janji. Bye..."
Kami pun meninggalkan Bian di depan rumahku. Membiarkannya sendiri dan menyesali perbuatannya. Aku hanya ingin bahagia. Dan kebahagiaan ku saat ini adalah Arfin. Terimakasih Tuhan telah mengirimkan Arfin untukku :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar