Langit tiba-tiba menghitam. Bias cahaya matahari padam, hanya mampu berpendar-pendar
lemah dibalik awan. Petir menggumam pelan. Derai hujan berkejaran mengikuti
gravitasi.
Aku
suka saat terpenjarakan hujan, mendengarnya mengetuk-ngetuk atap, memukul-mukul
daun jendela, dan yang paling aku suka adalah selalu ada pelangi setelah hujan.
Seperti hal nya kesedihan di sudut hati, suatu saat pasti akan terganti senyum
yang tersemai indah.
Tapi
hujan kali ini sedang tidak berpihakkepadaku, langit tak henti-hentinya
menangis, pelangi pun tak kunjung datang. Hujan seolah menggambarkan perasaan
ku saat ini. Sebongkah air mata tiba-tiba runtuh dari sudut mataku. Napas ku
terasa begitu berat. Hatiku sangat teriris-iris ketika teringat kejadian itu.
Suara Bian terus terngiang-ngiang di kepalaku.
"Aku
suka Dinda, Git! Kayaknya aku jatuh cinta sama dia. Jangan tanya kenapa aku
cinta dia. Karena aku mencintainya tanpa alasan."
Bian
suka Dinda? Ya Tuhaaan, kenapa aku begitu lemas mendengarnya? Jantungku seperti
mogok mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Seharusnya aku ikut bahagia jika Bian
telah menemukan belahan jiwanya.
Rasa
khawatir menyerang hatiku. Jiwaku teraduk-aduk. Berjuta pertanyaan menyelimuti
pikiranku. Kenapa harus Dinda sih? Kenapa harus cewek itu? Kenapa aku ga rela
ya Tuhan? Aku lebih rela kalo Bian suka sama cewek paling cantik, kaya, baik
hati sejagat raya sekalipun. Asal jangan sama Dinda!
Aku
takut kehilangan Bian, walaupun sosoknya belum lama ini mewarnai hariku tapi
aku merasa ia telah lama bertengger disini, dihatiku. Dihatiku? Ah, bicara apa
aku ini? Hati? Apa aku menaruh hati padanya? Ku rasa tidak. Tapi mengapa rasa
takut ini terus menerus menghantuiku?
Seminggu
kemudian aku bertemu Bian, melepas rasa rindu yang semakin lama menggerogoti
ruang hatiku. Kami selalu menyimpan banyak cerita untuk diceritakan ketika kami
bertemu. Tapi kali ini aku tidak bercerita apa-apa pada Bian. Aku lebih memilih
diam seribu bahasa.
Ku
tahan sekuat tenaga agar air mata ini tidak jatuh berguguran di depan Bian. Dan
aku berhasil. Sungguh aku ini artis berbakat! Bian pun tak menyadari atas apa
yang terjadi kepadaku. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri pertemuan
ini.
Setibanya
di rumah aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak bisa melakukan apa-apa, aku hanya
ingin Bian bahagia. Walaupun hati ini tak sanggup menahan sakit ketika nama itu
keluar dari bibir Bian.
Beberapa
hari kemudian ponselku menjerit-jerit pertanda ada pesan masuk. Rupanya ada sms
dari Bian.
Nagitaaaa,
aku udah jadian sama Dinda. Aku seneng banget nih :D
Tubuhku
berasa tertimpa batu sebesar 1 ton. Telepon genggam ku seperti mengembang
menjadi 1000 kali lipat lebih berat dari biasanya, tanganku tak sanggup
menahannya hingga ponsel itu terjatuh. Aku terdiam, tak percaya.
Rasanya
jari-jari ku tak sanggup untuk menyentuh tombol yang ada pada telepon genggam.
Aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk membalas pesan Bian.
Oya?
Selamat ya. Aku ikut seneng deh. Semoga langgeng ya :)
Dengan
berat hati ku kirimkan sms itu. Sungguh sebenarnya emotion itu bukan titik dua
kurung tutup, tapi titik dua kurung buka alias emotion sedih.
Hari
memeluk hari. Kekhawatiranku selama ini terjawab sudah, Dinda melabrak ku tadi
pagi di kantin. Ia minta aku jauhi Bian dan mengancam akan membuat hidupku tak
tenang jika masih dekat-dekat dengan Bian.
Dinda
telah mendoktrin Bian. Apa yang Dinda mau selalu diturutinya, termasuk menjauhi
ku. Sungguh ia telah benar-benar merubah sosok Bian yang selama ini aku kenal.
Aku sering
memergoki Dinda yang sedang berkencan dengan pria lain. Berkali-kali ku
beritahu Bian tentang hal ini, berkali-kali pula ia menyangkal. Tak jarang ia
marah kepadaku dan mengira ku yang tidak-tidak. Sungguh cinta nya pada Dinda
telah membutakan mata hati Bian.
Bian
berubah drastis sejak jatuh cinta pada Dinda. Gadis itu telah mengubahnya 180
derajat. Aku sangat sedih, hatiku sangat terpukul. Aku benar-benar kehilangan
Bian. Mungkin untuk selama-lamanya. Kini Bian telah menghilang bagaikan ditelan
bumi.
Pada
malam ulang tahun Bian yang ke-20, Bian berniat untuk memberikan surprise
kepada Dinda. Tanpa sepengetahuan Dinda, diam-diam Bian sudah memesan hotel
untuk Candle Light Dinner. Tak lupa Bian mampir ke Toko Mas untuk membeli
cincin. Bian rupanya ingin melamar Dinda.
Saat
Bian keluar dari Toko Mas, mata nya tiba-tiba tertuju pada sosok perempuan yang
seperinya tak asing baginya. Bian menyipitkan mata. Dinda! Tunggu dulu, dengan
siapa dia? Kemudian Ia melirik ke arah lelaki disebelah Dinda. Oh my God,
Rizfa! Kenapa Rizfa bisa merangkul Dinda?
Hanya
terpaut beberapa detik, Bian langsung menghampiri mereka.
“Kurang ajar, teman macam apa kamu?” Sebuah tonjokan melayang di kepala Rizfa.
Dinda kaget setengah mampus! Kedok nya selama ini terbongkar.
“Tunggu Bian, aku bisa jelasin semuanya”
“Ga perlu, semua udah jelas. Aku udah liat pake mata kepala aku kalo cewe yang aku sayang ternyata selingkuh dengan sahabat ku sendiri!”
“Tenang dulu bro.. ini semua salah paham.”
“Ga usah banyak omong, dasar penghianat!” Bian menarik kerah baju Rizfa kemudian menonjok wajah Rizfa berkali-kali sampai darah segar mengalir di bibir Rizfa.
“Kurang ajar, teman macam apa kamu?” Sebuah tonjokan melayang di kepala Rizfa.
Dinda kaget setengah mampus! Kedok nya selama ini terbongkar.
“Tunggu Bian, aku bisa jelasin semuanya”
“Ga perlu, semua udah jelas. Aku udah liat pake mata kepala aku kalo cewe yang aku sayang ternyata selingkuh dengan sahabat ku sendiri!”
“Tenang dulu bro.. ini semua salah paham.”
“Ga usah banyak omong, dasar penghianat!” Bian menarik kerah baju Rizfa kemudian menonjok wajah Rizfa berkali-kali sampai darah segar mengalir di bibir Rizfa.
Dengan
emosi yang menggebu-gebu Bian meninggalkan mereka. Ia langsung menuju basement
kemudian tancap gas sekencang-kencangnya. Ia masih tidak percaya jika mereka
tega menusuknya dari belakang. Sangat menyedihkan, seharusnya di hari ulang
tahun nya ia bahagia.
Sesampainya
di rumah, bayangan ku terlintas di benak Bian. Kemudian ia mencoba
menghubungiku tapi gagal. Aku sudah ganti nomor dan Bian sengaja tak aku
beritahu. Ia berusaha keras mencari ku, tapi hasilnya 0 besar. Sampai akhirnya
Bian membuka akun facebook ku dan menemukan sebuah note yang aku buat sejak
lama.
Bandung,
22 Juli 2011
Dear Bian,
Dear Bian,
Tak terasa
waktu bergulir begitu cepat.
Seharusnya semakin hari kita semakin akrab.
Tetapi, aku merasa saat ini terbentang jarak diantara kita.
Seharusnya semakin hari kita semakin akrab.
Tetapi, aku merasa saat ini terbentang jarak diantara kita.
Kita
semakin menjauh bagai langit dan bumi
Entah apa yang sebenarnya terjadi.
Keceriaanku sungguh sirna sejak engkau tak disini.
Jutaan cerita terpendam disini tanpa sempat aku bisikkan kepadamu.
Keceriaanku sungguh sirna sejak engkau tak disini.
Jutaan cerita terpendam disini tanpa sempat aku bisikkan kepadamu.
Sejak
engkau mengenal Dinda, sungguh kau berubah drastis.
Kau melupakanku dan semua kenangan kita.
Aku kecewa, sangat kecewa
Tapi gejolak cinta di dada ini mengalahkan semuanya
Tapi gejolak cinta di dada ini mengalahkan semuanya
Aku sayang
kamu
Bukan sebagai sahabat, tapi melebihi segalanya
Bukan sebagai sahabat, tapi melebihi segalanya
Maaf jika aku sayang kamu
Tapi tak dapat ku pungkiri
Karena hati tak bisa berbohong
Tapi tak dapat ku pungkiri
Karena hati tak bisa berbohong
Maafkan
aku, Sahabat…
With love,
Nagita
Nagita
Setelah
membaca note ku, Bian tercengang. Hatinya kalang kabut. Butiran bening
tiba-tiba rontok dari sudut matanya. Ia lantas tancap gas ke rumah ku.
"Gita,
aku minta maaf. Aku salah besar. Ternyata kamu lah satu-satunya gadis yang
mencintaiku dengan tulus. Maafkan aku, aku sangat menyesal. Ku mohon maafkan
aku dan jadilah cinta terakhirku. Aku sayang kamu Nagita. " Bian memohon
sambil berlutut dihadapanku.
"Tak
perlu minta maaf, aku sudah memaafkanmu dari dulu. Tak ada yang perlu disesali.
Tapi maaf aku tak bisa"
"Kenapa
Git? Bukan kah kita memiliki perasaan yang sama? Kenapa kita tidak mencoba
menjalaninya? Ku mohon. Aku sayang kamu Nagita Ristiana" Ucap Bian, lirih.
Dengan
tegas aku berkata, “Aku memang sayang kamu, tapi itu dulu. Kini aku telah
mengikhlaskanmu dan menganggapmu sahabat. Perasaanku padamu benar-benar hanya
sebatas sahabat. Maafkan aku.”
Sesaat
kemudian Arfin datang dan merangkul pinggangku tanpa menghiraukan kehadiran
Bian.
"Sudah siap sayang?"
Aku pun mengangguk.
"Maaf aku sudah ada janji. Bye..."
"Sudah siap sayang?"
Aku pun mengangguk.
"Maaf aku sudah ada janji. Bye..."
Kami
pun meninggalkan Bian di depan rumahku. Membiarkannya sendiri dan menyesali
perbuatannya. Aku hanya ingin bahagia. Dan kebahagiaan ku saat ini adalah
Arfin. Terimakasih Tuhan telah mengirimkan Arfin untukku :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar