Sabtu, 31 Agustus 2013

Cinta Butuh Waktu


Sore itu langit begitu cerah. Kilauan warna pelangi menghias langit di tengah-tengah hiruk-pikuk Kota Kembang. Membungkus awan hitam dan menyeretnya pergi. Adzan maghrib berkumandang. Waktunya berbuka puasa. Saat itu aku masih di perjalanan pulang, setelah letih seharian mencari baju untuk hari raya.
Aku ingat hari ini ada janji dengan Ares untuk mem-booking tempat buka besama teman-teman sewaktu duduk di Sekolah Dasar. Kebetulan rumah ku dan Ares saling berdekatan, jadi aku meminta tolong Ares untuk menemaniku. Setibanya di rumah aku langsung bersiap-siap.
Ponsel ku berjerit-jerit meminta disentuh. Nampak sebuah pesan bbm dari Ares,
 Sekarang yuk :)
Dalam hitungan detik aku langsung membalasnya.
            Oke :)
Sudah lama aku tidak bertemu Ares, walaupun rumah kami saling berdekatan tapi setumpuk kesibukan membentengi kami untuk bertemu. Sedikit rasa canggung menyelimuti ku. Tapi lama-lama aku bisa mengatasinya. Ada hal yang berbeda dari Ares, ada sesuatu hangat yang terus menerus mengelus-ngelus liang hatiku.
Keesokan harinya, waktu buka bersama pun tiba. Aku meminta izin pada Mama untuk meminjam mobil. Mama mengizinkan asalkan ada teman laki-lakinya karena khawatir aku akan pulang malam. Tanpa pikir panjang aku mengajak Ares. Akhirnya kami berangkat menuju Sekolah Dasar kami tercinta untuk bertemu teman-teman yang lain.
Disana sudah tampak beberapa teman-teman yang sudah datang. Kami pun menghampiri mereka untuk sekedar berjabat tangan dan berbincang-bincang. Tiba-tiba suara Nesya menggema di udara, “Ih, Ares jadi ganteng deh. Sini-sini foto bareng. Mau aku jadiin DP ah biar dikira pacar.” Nesya menggoda Ares.
Mendengar hal itu, Ares hanya tersenyum dan tidak terlalu menghiraukannya. Berbeda denganku yang merasakan rasa ngilu yang menonjok ulu hatiku. Entah apa yang terjadi tapi udara hangat di tempat ini mendadak menyesakkan. Lidahku serasa kelu sehingga sangat sulit untuk memuntahkan kata-kata, bahkan untuk sekedar melengkungkan senyum tipis bibirku terasa membeku. Aku bergeming.
Dasar nenek lampir! dari dulu sampai sekarang ga berubah, tetep centil! Aku mendengus kesal. Tapi aku berusaha sekuat tenaga agar tak seorang pun dapat mendeteksi perasaanku saat ini.
Senja semakin pekat. Sore sudah semakin menua, waktu telah menunjukkan pukul 17.00. Kami pun bergegas masuk ke dalam mobil untuk melakukan perjalanan. Aku duduk dibelakang kemudi sedangkan Ares duduk di sampingku. Tiba-tiba suara nenek lampir itu bergentayangan lagi. “Ares ga mau naik mobil aku nih?” Nesya mengedipkan mata. Ares tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil.
Setibanya di tempat makan, Nesya tak henti-hentinya menggoda Ares. Ingin rasanya aku mengikat lidahnya agar berhenti berkicau. Aku merasakan sebuah ironi menggores hatiku. Isi dadaku dilanda badai hebat dan nyaris melompat keluar dari tempatnya. Aku mencoba tertawa kecil demi merontokkan gemuruh yang ada di dada.
Merasa belum puas melepas rindu, kami berniat mengunjungi sebuah cafe di Bandung. Awalnya aku ragu karena takut kemalaman. Tapi Ares lah yang meyakinkanku. Ia berjanji akan bertanggung jawab di depan Mama. Akhirnya kami melesat menuju cafe tanpa si nenek lampir itu. Ia tidak ikut karena ada urusan. Yes! Hatiku bergejolak riang. Setidaknya kuping ku tidak panas mendengarkan nya terus berkicau.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 22.00. Sekelebat rasa cemas menyelinap masuk ke pikiranku. Aku takut dimarahi Mama. Belum pernah aku pulang se larut ini. Tapi lagi-lagi Ares meyakinkanku. Membuatku sedikit lebih tenang. Ternyata benar, aku tidak dimarahi Mama dan itu semua berkat Ares.
Ares telah pulang ke rumahnya. Tapi entah mengapa sisa-sisa Ares masih terasa disini. Dimana? Di hatiku. Mungkin. Entahlah. Seperti dibangkitkan dalam kubur, Ares mulai bergentayangan di otakku. Makin keras aku memikirkannya, makin keras denyut yang menghantam kepalaku. Begitupun dengan suara nya yang menggema di kepalaku, seolah menggelitik syaraf-syaraf dalam tubuhku.
Hingga saat hari kemenangan tiba, seperti tahun-tahun sebelumnya aku tidak pernah bertemu dengan Ares karena biasanya Ia datang terlambat saat silaturahmi keliling komplek.
Ponselku bergetar, ku pikir hanya broadcast ucapan selamat Idul Fitri. Tapi ternyata aku salah.Ares mengirimiku pesan bbm.
Hey, taun ini kita ga ketemu lagi yah
Secepat kilat aku membalas.
Iya, kamu sih telat datengnya jadi aja ga ketemu
Komunikasi itu berlanjut hingga sesuatu yang mengejutkan mengguncang hatiku. Terselip kata “beb” dalam pesan bbm Ares. Apa aku tidak salah baca? Ares memanggilku dengan sebutan “beb”? Aku nyaris tidak percaya. Rasanya ingin melesat menembus atap saking bahagianya. Sesaat bibirku mulai menyunggingkan senyum termanis yang pernah ku miliki. Hampir setiap pesan bbm kami terselip kata sayang, layaknya dua sejoli yang sedang merajut cinta.
Beberapa hari setelah itu, kami berniat silaturahmi ke rumah guru SD kami yaitu Ibu Yani. Kami memutuskan untuk pergi bersama. Tanpa kami sadari, warna pakaia  kami sama. Yaitu abu-abu dan biru. Padahal kami tidak janjian. Entah faktor kebetulan semata atau faktor sehati. Aku tidak tahu. Yang jelas aku bahagia.
Ada radar yang ditangkap oleh hatiku saat menemukan sosok itu. Ada getar yang tidak bisa di deskripsikan. Ada suka yang tak sanggup berbicara pada bahasa vulgar. Ah rasanya ingin sekali menyerah. Tapi ini berlangsung di luar kesadaranku.
Sesuatu yang menyebalkan membuyarkan lamunan ku. Dasar nenek lampir! Kali ini centilnya kumat lagi. Ia menitip pesan padaku bahwa ia ingin dijemput oleh Ares. Dengan berat hati aku menyampaikanya pada Ares.
“Bep, tuh Nesya pengen dijemput sama kamu” Aku memutar kedua bola mataku dan melipat tangan di dada.
“Kenapa harus sama aku coba? Sama Alvaro aja biar sekalian.” Rupanya Ares bisa membaca dan mengerti gerak-gerik ku.
Menyebalkan! Teman-temanku malah memaksa Ares untuk mau menjemput Nesya karena mengharapkan dapat bingkisan dari Nesya. Maklum, Nesya kan anak orang kaya. “Jangan sama bebep aku sih, sama yang lain aja!” Ucapku keras kepala. Sialnya mereka masih tetap bersikukuh membujuk Ares.
Langit menghitam, derai hujan mulai berguguran membasahi tanah. Untung kami sudah sampai di rumah Ibu Yani. Aku bersyukur, langit sedang berpihak kepadaku. Hujan menghalangi Ares untuk menjemput si nenek lampir centil itu. Tapi Nesya akan menyusul kemari menggunakan jazz putihnya.
Kedatangan Nesya sangat mengusik hatiku. Seperti biasa Nesya mulai beraksi. Menggoda Ares terus menerus. Dan paling menyebalkan lagi, teman-temanku malah berpihak pada Nesya! Aku hanya bergeming. Hatiku terbakar hebat. Tapi bibirku berkhianat, ia malah menyunggingkan senyum termunafik yang pernah ada.
Kenapa aku ini? Kenapa hatiku kalang kabut jika Nesya menggoda Ares? Kenapa aku tak rela jika Ares bersama Nesya? Apa aku….. jatuh cinta pada Ares? Secepat itu kah?
Jatuh cinta pada Ares bukan hal yang salah. Cinta tidak pernah mengumumkan kedatangannya. Ia tidak pernah memilih pada siapa akan datang. Hanya saja cinta itu butuh waktu. Dan waktu yang dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit di prediksi.
Cinta butuh waktu untuk membuat Ares memahami, ada cinta yang lebih masuk akal untuk Ia percayai. Cinta butuh waktu untuk membuat Ares menyadari, ada cinta yang setia menantinya sampai kapanpun. Cinta butuh waktu untuk membuat Ares yakin, bahwa ia menjatuhkan hatinya pada orang yang tepat. Cinta butuh waktu untuk membuat Ares meminta ku bertahan selama-lamanya di taman hatinya.
Dan aku sangat yakin, hari itu pasti akan tiba. Tidak tahu kapan, dimana dan bagaimana cinta akan membawa ku dan Ares pada kebahagian yang kekal abadi untuk selama-lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar