Sore itu langit begitu cerah. Kilauan warna pelangi menghias
langit di tengah-tengah hiruk-pikuk Kota Kembang. Membungkus awan hitam dan
menyeretnya pergi. Adzan maghrib berkumandang. Waktunya berbuka puasa. Saat itu
aku masih di perjalanan pulang, setelah letih seharian mencari baju untuk hari
raya.
Aku ingat hari ini ada janji dengan Ares untuk mem-booking tempat buka besama teman-teman
sewaktu duduk di Sekolah Dasar. Kebetulan rumah ku dan Ares saling berdekatan,
jadi aku meminta tolong Ares untuk menemaniku. Setibanya di rumah aku langsung
bersiap-siap.
Ponsel ku berjerit-jerit meminta disentuh. Nampak sebuah
pesan bbm dari Ares,
Sekarang yuk :)
Dalam hitungan detik aku langsung membalasnya.
Oke :)
Sudah lama aku tidak bertemu Ares, walaupun rumah kami
saling berdekatan tapi setumpuk kesibukan membentengi kami untuk bertemu.
Sedikit rasa canggung menyelimuti ku. Tapi lama-lama aku bisa mengatasinya. Ada
hal yang berbeda dari Ares, ada sesuatu hangat yang terus menerus
mengelus-ngelus liang hatiku.
Keesokan harinya, waktu buka bersama pun tiba. Aku meminta
izin pada Mama untuk meminjam mobil. Mama mengizinkan asalkan ada teman
laki-lakinya karena khawatir aku akan pulang malam. Tanpa pikir panjang aku mengajak
Ares. Akhirnya kami berangkat menuju Sekolah Dasar kami tercinta untuk bertemu
teman-teman yang lain.
Disana sudah tampak beberapa teman-teman yang sudah datang.
Kami pun menghampiri mereka untuk sekedar berjabat tangan dan
berbincang-bincang. Tiba-tiba suara Nesya menggema di udara, “Ih, Ares jadi
ganteng deh. Sini-sini foto bareng. Mau aku jadiin DP ah biar dikira pacar.”
Nesya menggoda Ares.
Mendengar hal itu, Ares hanya tersenyum dan tidak terlalu
menghiraukannya. Berbeda denganku yang merasakan rasa ngilu yang menonjok ulu
hatiku. Entah apa yang terjadi tapi udara hangat di tempat ini mendadak
menyesakkan. Lidahku serasa kelu sehingga sangat sulit untuk memuntahkan
kata-kata, bahkan untuk sekedar melengkungkan senyum tipis bibirku terasa
membeku. Aku bergeming.
Dasar nenek lampir! dari dulu sampai sekarang ga berubah,
tetep centil! Aku mendengus kesal. Tapi aku berusaha sekuat tenaga agar tak
seorang pun dapat mendeteksi perasaanku saat ini.
Senja semakin pekat. Sore sudah semakin menua, waktu telah
menunjukkan pukul 17.00. Kami pun bergegas masuk ke dalam mobil untuk melakukan
perjalanan. Aku duduk dibelakang kemudi sedangkan Ares duduk di sampingku.
Tiba-tiba suara nenek lampir itu bergentayangan lagi. “Ares ga mau naik mobil
aku nih?” Nesya mengedipkan mata. Ares tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil.
Setibanya di tempat makan, Nesya tak henti-hentinya menggoda
Ares. Ingin rasanya aku mengikat lidahnya agar berhenti berkicau. Aku merasakan
sebuah ironi menggores hatiku. Isi dadaku dilanda badai hebat dan nyaris
melompat keluar dari tempatnya. Aku mencoba tertawa kecil demi merontokkan
gemuruh yang ada di dada.
Merasa belum puas melepas rindu, kami berniat mengunjungi
sebuah cafe di Bandung. Awalnya aku ragu karena takut kemalaman. Tapi Ares lah
yang meyakinkanku. Ia berjanji akan bertanggung jawab di depan Mama. Akhirnya
kami melesat menuju cafe tanpa si nenek lampir itu. Ia tidak ikut karena ada
urusan. Yes! Hatiku bergejolak riang. Setidaknya kuping ku tidak panas
mendengarkan nya terus berkicau.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 22.00. Sekelebat
rasa cemas menyelinap masuk ke pikiranku. Aku takut dimarahi Mama. Belum pernah
aku pulang se larut ini. Tapi lagi-lagi Ares meyakinkanku. Membuatku sedikit
lebih tenang. Ternyata benar, aku tidak dimarahi Mama dan itu semua berkat
Ares.
Ares telah pulang ke rumahnya. Tapi entah mengapa sisa-sisa
Ares masih terasa disini. Dimana? Di hatiku. Mungkin. Entahlah. Seperti
dibangkitkan dalam kubur, Ares mulai bergentayangan di otakku. Makin keras aku
memikirkannya, makin keras denyut yang menghantam kepalaku. Begitupun dengan
suara nya yang menggema di kepalaku, seolah menggelitik syaraf-syaraf dalam
tubuhku.
Hingga saat hari kemenangan tiba, seperti tahun-tahun
sebelumnya aku tidak pernah bertemu dengan Ares karena biasanya Ia datang
terlambat saat silaturahmi keliling komplek.
Ponselku bergetar, ku pikir hanya broadcast ucapan selamat Idul Fitri.
Tapi ternyata aku salah.Ares mengirimiku pesan bbm.
Hey, taun ini kita ga ketemu lagi yah
Hey, taun ini kita ga ketemu lagi yah
Secepat kilat aku membalas.
Iya, kamu sih telat datengnya jadi aja ga ketemu
Iya, kamu sih telat datengnya jadi aja ga ketemu
Komunikasi itu berlanjut hingga
sesuatu yang mengejutkan mengguncang hatiku. Terselip kata “beb” dalam pesan
bbm Ares. Apa aku tidak salah baca? Ares memanggilku dengan sebutan “beb”? Aku
nyaris tidak percaya. Rasanya ingin melesat menembus atap saking bahagianya.
Sesaat bibirku mulai menyunggingkan senyum termanis yang pernah ku miliki.
Hampir setiap pesan bbm kami terselip kata sayang, layaknya dua sejoli yang
sedang merajut cinta.
Beberapa hari setelah itu, kami berniat silaturahmi ke rumah
guru SD kami yaitu Ibu Yani. Kami memutuskan untuk pergi bersama. Tanpa kami
sadari, warna pakaia kami sama. Yaitu abu-abu dan biru. Padahal kami
tidak janjian. Entah faktor kebetulan semata atau faktor sehati. Aku tidak tahu.
Yang jelas aku bahagia.
Ada radar yang ditangkap oleh hatiku saat menemukan sosok
itu. Ada getar yang tidak bisa di deskripsikan. Ada suka yang tak sanggup
berbicara pada bahasa vulgar. Ah rasanya ingin sekali menyerah. Tapi ini
berlangsung di luar kesadaranku.
Sesuatu
yang menyebalkan membuyarkan lamunan ku. Dasar nenek lampir! Kali ini centilnya
kumat lagi. Ia menitip pesan padaku bahwa ia ingin dijemput oleh Ares. Dengan
berat hati aku menyampaikanya pada Ares.
“Bep, tuh Nesya pengen dijemput sama kamu” Aku memutar kedua bola mataku dan melipat tangan di dada.
“Kenapa harus sama aku coba? Sama Alvaro aja biar sekalian.” Rupanya Ares bisa membaca dan mengerti gerak-gerik ku.
“Bep, tuh Nesya pengen dijemput sama kamu” Aku memutar kedua bola mataku dan melipat tangan di dada.
“Kenapa harus sama aku coba? Sama Alvaro aja biar sekalian.” Rupanya Ares bisa membaca dan mengerti gerak-gerik ku.
Menyebalkan! Teman-temanku malah memaksa Ares untuk mau
menjemput Nesya karena mengharapkan dapat bingkisan dari Nesya. Maklum, Nesya
kan anak orang kaya. “Jangan sama bebep aku sih, sama yang lain aja!” Ucapku
keras kepala. Sialnya mereka masih tetap bersikukuh membujuk Ares.
Langit menghitam, derai hujan mulai berguguran membasahi
tanah. Untung kami sudah sampai di rumah Ibu Yani. Aku bersyukur, langit sedang
berpihak kepadaku. Hujan menghalangi Ares untuk menjemput si nenek lampir
centil itu. Tapi Nesya akan menyusul kemari menggunakan jazz putihnya.
Kedatangan Nesya sangat mengusik hatiku. Seperti biasa Nesya
mulai beraksi. Menggoda Ares terus menerus. Dan paling menyebalkan lagi,
teman-temanku malah berpihak pada Nesya! Aku hanya bergeming. Hatiku terbakar
hebat. Tapi bibirku berkhianat, ia malah menyunggingkan senyum termunafik yang pernah
ada.
Kenapa aku ini? Kenapa hatiku kalang kabut jika Nesya
menggoda Ares? Kenapa aku tak rela jika Ares bersama Nesya? Apa aku….. jatuh
cinta pada Ares? Secepat itu kah?
Jatuh cinta pada Ares bukan hal yang salah. Cinta tidak
pernah mengumumkan kedatangannya. Ia tidak pernah memilih pada siapa akan
datang. Hanya saja cinta itu butuh waktu. Dan waktu yang dibutuhkan cinta
adalah teka-teki yang sulit di prediksi.
Cinta butuh waktu untuk membuat Ares memahami, ada cinta
yang lebih masuk akal untuk Ia percayai. Cinta butuh waktu untuk membuat Ares
menyadari, ada cinta yang setia menantinya sampai kapanpun. Cinta butuh waktu
untuk membuat Ares yakin, bahwa ia menjatuhkan hatinya pada orang yang tepat.
Cinta butuh waktu untuk membuat Ares meminta ku bertahan selama-lamanya di
taman hatinya.
Dan aku sangat yakin, hari itu pasti akan tiba. Tidak tahu
kapan, dimana dan bagaimana cinta akan membawa ku dan Ares pada kebahagian yang
kekal abadi untuk selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar